Harian Daily Mail menurunkan
topic tak biasa di halaman depan mereka tentang tren baru keyakinan di Inggris.
Hasil temuan mereka menyebut, ada tren di kalangan perempuan terpelajar di
Inggris –sebagian besar adalah wanita karier- yang memilih Islam sebagai
keyakinan baru mereka.
Ipar Tony Blair, Lauren Booth,
mengatakan dia sekarang memakai jilbab yang menutupi kepala setiap kali meninggalkan
rumah. Ia juga mengaku melakukan shalat lima kali sehari dan mengunjungi masjid
setempat kapanpun dia bisa. Lauren berprofesi sebagai wartawan dan penyiar
televisi. Dia memutuskan untuk menjadi seorang Muslimah setelah mengunjungi
tempat suci Fatima al-Masumeh di kota Qom. “Ini adalah Selasa malam, dan saya
duduk dan merasa ini suntikan morfin spiritual, hanya kebahagiaan mutlak dan
sukacita”, ujarnya.
Sebelum pergi ke Iran, ia mengaku
telah tertarik pada Islam dan telah menghabiskan banyak waktu untuk bekerja
sebagai pekerja di Palestina. “Saya selalu terkesan dengan kekuatan dan
kenyamanan berada di tengah-tengah Muslimin,” katanya
Menurut Kevin Brice dari Swansea
University, yang memiliki spesialisasi dalam mempelajari konversi keyakinan,
menyatakan gelombang para wanita terpelajar Inggris yang beralih keyakinan
menjadi Muslimah merupakan bagian dari tren menarik. “Mereka mencari inti
spiritualitas, arti yang lebih tinggi, dan cenderung untuk berpikir secara
mendalam sebelum memutuskan. Namun dalam konteks ini, saya menyebutnya sebagai
fenomena “mengkonversi kenyamanan”.
Kristiane Backer, wanita 43 tahun
dan mantan VJ MTV yang menjadi ikon kehidupan Barat liberal yang dirindukan
remaja saat mudanya, mengatakan, “Masyarakat permisif yang saya dambakan ketika
muda dulu ternyata sangat dangkal, tak memberi ketentraman batin apapun”,
ujarnya.
Titik balik untuk Kristiane
muncul ketika dia bertemu mantan pemain kriket Pakistan dan seorang Muslim,
Imran Khan pada tahun 1992. Dia membawanya ke Pakistan. Di negara kekasihnya
itu, dia segera tersentuh oleh spiritualitas dan kehangatan dari orang-orang
Islam di negara itu. “Meskipun kemudian hubungan asmara saya dengan Imran Khan
kandas, semangat saya mempelajari Islam tak turut kandas. Saya mulai
mempelajari Islam dan akhirnya menjadi mualaf”, ujarnya.
Menurutnya, Islam adalah agama
bervisi. “Di Barat, kami menekankan untuk alasan yang dangkal, seperti apa
pakaian untuk dipakai. Dalam Islam, semua orang bergerak ke tujuan yang lebih
tinggi. Semuanya dilakukan untuk menyenangkan Tuhan. Itu adalah system nilai
yang berbeda”, tambahnya.
Sejumlah besar wanita, kontak
pertama mereka dengan Islam berasal dari teman Muslimnya. Lynne Ali, dari
Dagenham di Essex, mengakuinya. Di masa lalu, hidupnya hanyalah pesta. “Aku
akan pergi keluar dan mabuk dengan teman-teman, memakai pakaian ketat dan
mengerling siapapun lelaki yang ingin aku kencani”, ujarnya.
Di sela-sela pekerjaannya sebagai
DJ sebuah kebab malam papan atas London, ia menyempatkan ke gereja. Tetapi
ketika ia bertemu pacarnya, Zahid, di Universitas sesuatu yang dramatis
terjadi. “Dia mulai berbicara kepadaku tentang Islam, dan itu seolah-olah
segala sesuatu dalam hidupku dipasang ke tempatnya. Aku pikir, di bawah itu
semua, aku pasti mencari sesuatu, dan aku tidak merasa hal itu dipenuhi oleh
gaya hidup hura-huraku dengan alcohol dan pergaulan bebas.”
Pada usia 19 tahun, Lynne
memutuskan menjadi mualaf. “Sejak hari itu pula, aku memutuskan mengenakan
hijab”, ujarnya. “Ini adalah tahun ke-12. Di rumah, aku akan berpakaian barat
normal di depan suami saya, tapi tidak untuk keluar rumah.”
Survey YouGov menyimpulkan bahwa
lebih dari setengah masyarakat Inggris percaya Islam adalah pengaruh negative
yang mendorong ekstremisme, penindasan perempuan dan ketidaksetaraan. Namun
statistic membuktikan konversi Islam menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Islam adalah agama yang berkembang tercepat di dunia. “Bukti menunjukkan bahwa
rasio perempuan Barat mengkonversi untuk laki-laki bisa setinggi 2:1”, kata
Sosiolog Inggris, Kevin Brice.
Selain itu, katanya, umumnya
perempuan mualaf ingin menampilkan tanda-tanda dari agama baru mereka –khususnya
jilbab- walaupun gadis Muslim yang dibesarkan dalam tradisi Islam justru malah
memilih tak berjilbab. “Mungkin sebagai akibat dari tindakan ini, yang
cenderung menarik perhatian, Muslim mualaflah yang sering melaporkan
diskriminasi terhadap mereka daripada mereka yang menjadi Muslimah sejak lahir”,
tambahnya
Hal itu diakui Backer. “Di
Jerman, ada Islamophobia. Saya kehilangan pekerjaan saya ketika saya bertobat. Ada
kampanye untuk melawan saya dengan sindiran tentang semua Muslim mendukung
teroris. Intinya saya difitnah. Sekarang, saya presenter di NBC Eropa”,
ujarnya.
Hal itu diamini Lyne. “Aku
menyebut diriku seorang Muslim Eropa, yang berbeda dengan mereka yang menjadi
Muslim sejak lahir. Sebagai seorang Muslim Eropa, saya mempertanyakan segala
sesuatu. Saya tidak menerima secara membabi buta. Dan pada akhirnya harus
diakui, Islam adalah agama yang paling logis secara logika”, ujarnya.
Banyak perempuan mualaf di
Inggris juga mengkonversi agamanya karena tertarik dengan kehangatan hubungan
di antara sesama Muslim. ”Beberapa tertarik untuk merasakan kembali nilai-nilai
yang telah mengikis di Barat”, kata Haifaa Jawad, dosen senior di Universitas
Birmingham, yang telah mempelajari fenomena konversi agama. “Banyak orang dari
semua lapisan masyarakat, meratapi hilangnya tradisi menghargai orang tua dan
perempuan, misalnya. Ini adalah nilai-nilai yang termuat dalam Qur’an, yang
ummat Islam harus hidup dengannya”, tambahnya Brice.
Nilai-nilai seperti ini pula yang
menarik Camilla Leyland, seorang guru yoga yang tinggal di Cornwall, pada
Islam. Ia seorang ibu tunggal untuk anaknya. Ia mengaku menjadi Muslim pada
pertengahan usia 20an untuk ‘alasan intelektual dan feminis’.
“Aku tahu orang akan terkejut
mendengar kata-kata ‘feminisme’ dan ‘Islam’ dalam napas yang sama, namun pada
kenyataannya, ajaran Al-Qur’an memberikan kesetaraan kepada perempuan, dan pada
saat agama itu lahir, ajaran pergi terhadap butir masyarakat misognis”,
tambahnya.
Selama ini, orang salah memandang
Islam, katanya. “Islam dituduh menindas wanita, namun yang aku rasakan ketika
dewasa, justru aku merasa lebih tertindas oleh masyarakat Barat.”
Tumbuh di Southampton, ayahnya
adalah direktur Institut Pendidikan Southampton dan ibunya seorang ekonom,
Camilla pertama kali bersinggungan dengan Islam di sekolah. Ia mengenal Islam
saat kuliah dan kemudian mengambil gelar master di bidang Studi Timur Tengah. Ketika
tinggal dan bekerja di Suriah, ia menemukan pencerahan spiritual.
Merefleksikan apa yang dia baca
di Al-Qur’an, ia menyadari bahwa Islamlah yang dicarinya selama ini. “Orang-orang
akan sulit untuk percaya bahwa seorang wanita yang berpendidikan tinggi dari
kelas menengah akan memilih untuk menjadi Muslim”, katanya, menirukan komentar
ayahnya saat itu. Namun ia mantap menjadi Muslimah.
Kini, ia yang mengaku tak pernah
meninggalkan shalat lima waktu tapi belum berhijab ini menyatakan dirinya telah
“merdeka”. “Saya sangat bersyukur menemukan jalan keluar bagi diri saya
sendiri. Saya tidak lagi menjadi budak masyarakat yang rusak.”
[moslemchanneljakarta.blogspot.co.id]