Nahdlatul Ulama Mempertahankan Ahlussunnah wal Jama’ah
Sejarah dakwah Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kiprah Wali Songo. Penyebaran Islam, khususnya di Jawa oleh pendakwah, terutama Wali Songo sukses besar. Di abad ke dan terutama setelah abad ke-11 dan ke-12, Islam menggantikan Hinduisme dan Budhisme yang sebelumnya berjaya. Pengaruh Islam masuk hingga ke pusat kerajaan dan kepemimpinan rakyat. Runtuhnya Majapahit da berdirinya kerajaan Demak di akhir tahun Jawa 1400 (1478 M), adalah bukti berubahnya kepercayaan masyarakat Jawa dari Hinduisme dan Budhisme kepada Islam.
Ajaran Walisongo adalah Islam Ahlussunah wal Jama’ah, yang disebut Sunni. Sedangkan Sunni di Indonesia dalam ajaran fikih mayoritas mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’I, dalam bidang tasawuf mengikuti Imam al-Junaid dan Imam Ghozali, serta mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi di bidang akidah. Selain ciri-ciri di atas, muslim Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia berpegang teguh pada pendapat ulama salaf dengan mengikut madzhab tertentu, serta berpegangan pada kitab-kitab mu’tabaroh, pecinta ahlul bait, wali dan para sholihin. Muslim Sunni di Indonesia ahli tabarrukan (mencari barokah) baik kepada orag yang masih hidup maupun sudah mati, menyukai ziarah kubur, mentradisikan talqin mayit, sedekah untuk mayit, berkeyakinan adanya syafa’at, kemanfaatan doa serta tawassul, dan lain sebagainya.
Setelah sekian lama Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah ditanamkan Walisongo sampai mengakar di bumi Jawa (Indonesia) pada 1330 H, ummat Islam diguncang dengan munculnya kelompok yang mengusung paham yang saling bertentangan.
Pada kurun tersebut muncul kelompok Islam modernis ajaran Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid RIdho, yang mengikuti bid’ah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan pengikut serta ajaran Ibn Taimiyyah dan kedua muridnya, yakni Ibn al-Qoyyim Jauziyyah dan Ibn Abdul Hadi. Kelompok ini mengklaim sebagai pemurni akidah dan berslogan Kembali pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Mereka sering menuduh bid’ah, khurofat dan tahayul pada ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah.
Selain itu, muncul Syiah Rofidhoh yang biasa menghujat para Sahabat Nabi RA khususnya Kholifah Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Siti Aisyah dan sahabat lainnya. Rofidhoh berlebihan dalam mengkultuskan Sayyidina Ali KWH dan Ahlul Bait.
Kelompok selanjutnya aliran kebatinan, yang mengajarkan terbebasnya ummat Islam dari menjalankan syariat, serta tidak wajib menghindari larangan syariat bagi ummat Islam yang telah beriman dan mencapai puncak mahabbah dan kesucian hati. Mereka menggugurkan ibadah lahiriah dengan mencukupkan diri beribadah dengan tafakkur dan memperbaiki akhlak batin.
Selain golongan tersebut, ada juga kelompok yang meyakini tanasukh (reinkarnasi ruh manusia). Selanjutnya muncul kelompok tasawuf yang berlebihan dengan meyakini hulul dan ijtihad
Tumbuhnya aliran-aliran menyimpang ini menimbulkan keprihatinan Ulama Nusantara penganut Ahlussunnah wal Jama’ah, khususnya menyikapi gerakan pemurnian syariat Islam yang dimotori kaum modernis secara massif dan sistematis, baik melalui propaganda dalam forum-forum kajian Islam, media massa, maupun melalui gerakan organisasi. Kekhawatiran para Ulama Nusantara tersebut tidak berlebihan sebab gerakan kaum modernis seringkali menyerang praktek peribadatan pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah, seperti tahlilan, istighotsah, tawassul, tabarruk, yasinan, talqin, ziarah qubur, peringatan mauled Nabi SAW dan selainnya yang dianggap bid’ah dan sesat.
Ulama Nusantara sebagai benteng Ahlussunnah wal Jama’ah kebanyakan adalah kiai pengasuh pondok pesantren dan para kiai yang senantiasa istiqomah berjuang di tengah-tengah masyarakat serta menjadi panutan ummat. Dengan adanya serangan kelompok modernis, mereka berupaya melakukan gerakan bersama untuk membendung penyebarannya.
Keresahan Ulama pesantren memuncak ketika ada berita Gubernur Hijaz, Sayyid Syarif Husein dikalahkan oleh Abdul Aziz bin Saud yang bekerja sama dengan Muhammad bin Abdul Wahab. Penguasa baru Hijaz ini melakukan pembersihan terhadap praketk keagamaan madzhab empat, pemaksaan ajaran Wahabi kepada ummat Islam di Hijaz dan pengusiran ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang tidak setuju terhadap kebijakan pemerintah baru. Kemenangan Ibn Saud menimbulkan polarisasi orientasi baru Islam di Indonesia, khususnya Jawa. Kalangan pesantren menganggap kemenangan Ibn Saud akan membawa dampak perubahan tradisi keagamaan menurut empat madzhab, sebab Ibn Saud dikenal beraliran Wahabi. Sementara sayap Islam modernis menyambut positif atas kemenangan Ibn Saud.
Melalui Kiai Wahab, kalangan pesantren mencemaskan kekhawatiran itu dalam sidang-sidang Komite Khilafah. Sementara kalangan modernis menghendaki agenda lama dipertahankan dibawa ke Makkah. Menurut mereka, penyerbuan Ibn Saud atas Syarif Husein bertujuan baik untuk memperbaiki tata laksana ibadah haji yang sebelumnya kacau, sering terjadi perampokan dan banyak suku Arab yang melarikan diri.
Kekecewaan ulama pesantren memuncak ketika Konggres Al-Islam di Yogyakarta 1925, para delegasi pesantren sangat kecewa pada sikap kaum modernis yang menolak usulan KH. Wahab Hasbullah agar Ibn Saud menjamin kebebasan bermadzhab untuk semua muslim di Makkah. Bahkan awal Januari 1926 para pimpinan kalangan Islam modernis mengadakan konferensi di Cianjur tanpa melibatkan Ulama Pesantren, kemudian mereka memutuskan memilih perwakilan mereka sebagai delegasi ke pertemuan di Mekkah. Peristiwa ini meyakinkan para kiai akan perlunya inisiatif-inisiatif sendiri yang terpisah dari kalangan modernis untuk menjamin pandangan dan kepentingan keagamaan mereka bisa terwakili.
Pertengahan Januari 1926, KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan restu KH. Hasyim Asy’ari mengundang Ulama Pesantren terkemuka untuk mendukung pendirian panitia yang disebut Komite Hijaz yang akan mengutus delegasi ke Makkah untuk mewakili kepentingan-kepentingan kelompok Islam kalngan pesantren. Akhirnya, 31 Januari 1926 M/ 16 Rojab 1344 H, 15 ulama berkumpul di rumah KH. Abdul Wahab Hasbullah di Surabaya dan mengesahkan bentuk kepanitiaan. Pertemuan ini selanjutnya memutuskan dua hal penting yakni: pertama, mengirim utusan Indonesia ke Muktamar Dunia Islam di Makkah, dengan tugas memperjuangkan hukum-hukum ibadah empat madzhab, kedua, membentuk suatu organisasi atau jam’iyyah yang akan mengirim utusan tersebut. Atas usul KH. Mas Alwi Abdul Aziz organisasi itu diberi nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Setelah kepengurusan NU terbentuk diputuskan mengirim KH. R. Asnawi Kudus sebagai delegasi NU ke Muktamar Dunia Islam di Makkah. Namun karena suatu hal, KH. R. Asnawi gagal berangkat ke Makkah. Kegagalan ini tidak menyurutkan niat para ulama NU untuk mengutus wakilnya menghadap Raja Ibn Saud. Kemudian pada 29 Maret 1928 M/ 7 Syawal 1346 H, NU mewakilkan kepada KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahmad Ghonaim al-Mishri berangkat ke Makkah untuk menghadap langsung kepada Raja Ibn Saud. Akhirnya utusan NU berhasil menghadap Raja Ibn Saud untuk memperjuangkan kepentingan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Hasil pertemuan dengan Raja Ibn Saud, pengajian di Masjidil Haram oleh para guru empat madzhab tidak dilarang. Pertemuan itu juga berhasil mencegah perusakan makam keluarga Nabi SAW dan para Imam madzhab di sekitar area Ka’bah. Berikut ini isi surat delegasi NU kepada Raja Ibn Saud.
Isi Surat Delegasi NU kepada Raja Ibn Saud.
Segala puji bagi Allah Yang Maha Manunggal. Sholawat dan Salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW dan kepada keluarga, sahabat dan pengikutnya.
Ke hadapan yang mulia Raja Hijaz dan Najed serta kekuasaannya, semoga Allah memberikan pertolongan kepadanya di dalam mengurus segala yang menjadi kemaslahatan ummat Islam.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Waba’du. Kami, dua orang sebagai delegasi “Jamiyyah Nahdlatul Ulama” di Surabaya, Jawa, merasa memperoleh kehormatan yang besar diperkenankan menghadap yang mulia guna menyampaikan beberapa harapan dan permohonan NU ke hadapan yang mulia beberapa hal sebagai berikut:
1. Memohon diberlakukannya kemerdekaan (kebebasan) di negeri Hijaz pada salah satu madzhab empat yakni Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali.
2. Atas dasar kemerdekaan bermadzhab tersebut, hendaknya dilakukan giliran antar imam-imam sholat Jum’at di Masjidil Haram, dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan madzhab tersebut, baik di bidang tasawuf, akidah maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, Imam Sanusi, dan lain-lainnya sudah terkenal kebenarannya. Hal tersebut tidak lain semata-mata untuk memperkuat perhubungan dan persaudaraan ummat Islam yang bermadzhab, sehingga ummat Islam menjadi sebagai tugu yang satu, sebab ummat Muhammad tidak akan bersatu dalam kesesatan.
3. Memohon untuk tetap diramaikannya tempat-tempat bersejarah yang terkenal. Karena tempat-tempat tersebut diwakafkan untuk masjid seperti tempat kelahiran Siti Fatimah dan bangunan Kaezuran dan bangunan lainnya berdasarkan firman Allah: “Hanyalah yang meramaikan masjid Allah orang-orang yang beriman kepada Allah”, dan orang-orang yang menghalang-halangi (orang lain) untuk menyebut nama Allah dalam masjid-Nya dan berusaha untuk merobohkannya?” Di samping untuk mengambil ibarat dari tempat-tempat yang bersejarah tersebut.
4. Memohon agar disebar-luaskan ke seluruh dunia setiap tahun sebelum jatuhnya musim haji mengenai tariff/ ketentuan biaya yang harus disewakan oleh jamaah haji kepada Syeikh Muthowwif dari mulai Jeddah sampai pulang kembali ke Jeddah lagi. Dengan demikian orang yang akan menunaikan ibadah haji dapat menyediakan perbekalan yang cukup buat pulang perginya dan agar mereka tidak diminta lagi dari ketentuan pemerintah.
5. Memohon agar semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz ditulis dengan undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut.
6. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama memohon balasan surat dari yang mulia yang menjelaskan bahwa kedua orang delegasinya benar-benar sudah menyampaikan surat mandatnya dan permohonan-permohonan NU kepada yang mulia dan hendaknya surat balasan tersebut diserahkan kepada dua delegasi tersebut.
7. Perkenaan atasnya, kiranya yang mulia menerima terima kasih kami dan penghargaan, penghormatan serta tulus ikhlas kami yang setinggi-tingginya.
Wassalam warahmatullahi wabarakatuh.