Nahdlatul Ulama Kota Madiun

sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Kehadiran NU merupakan salah satu upaya melembagakan wawasan tradisi keagamaan yang dianut jauh sebelumnya, yakni paham Ahlussunnah wal Jamaah

Youtube

Profil

Sejarah

Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Kehadiran NU merupakan salah satu upaya melembagakan wawasan tradisi keagamaan yang dianut jauh sebelumnya, yakni paham Ahlussunnah wal Jamaah.

Read More

Visi Misi

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Read More

Pengurus

Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Madiun terdiri dari 3 unsur kepengurusan, Mustasyar (Penasihat), Syuriyah (Pimpinan tertinggi), dan Tanfidziyah (Pelaksana Harian).

Read More

MWC

MWC (Majelis Wakil Cabang) merupakan kepengurusan di tingkat kecamatan, terdiri dari MWC NU Manguharjo, MWC NU Kartoharjo, dan MWC NU Taman.

Read More

Warta

Tuesday, September 28, 2021

MANUSIA PALING SEMPURNA AKHLAKNYA

MANUSIA PALING SEMPURNA AKHLAKNYA

Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang paling sempurna fisik dan akhlaqnya serta memiliki sifat-sifat yang luhur. Tinggi tubuhnya sedang, warna kulitnya putih kemerah-merahan, matanya lebar bercelak, bulu matanya lebat dan alisnya halus, indah.



 

Putih dan rata giginya, mulutnya lebar tampak bagus menarik, lapang keningnya dan memiliki dahi lakksana bulan sabit. Halus hidungnya, Nampak bagus pangkal hidungnya dan kelihatan mancung. Lebar bidang bahunya, lebar telapak tangannya, besar tulang persendiannya, sedikit daging tumitnya, tebal jenggotnya dan rambutnya panjang sampai daun telinga.

 

Di antara kedua belah belikatnya terdapat cap kenabian yang penuh dengan cahaya cemerlang. Air keringatnya bagaikan butiran-butiran mutiara dan bau keringatnya lebih semerbak daripada minyak kasturi. Cara berjalannya condong menunduk bagaikan orang yang sedang turun dari tempat yang tinggi.

 

Apabila tangannya yang mulia berjabat tangan dengan seseorang, maka tertinggallah bau harumnya yang semerbak sampai beberapa hari lamanya. Apabila beliau menyentuh kepala anak kecil, maka anak-anak kecil lainnya dapat mengenalinya, bahwa kepalanya telah disentuhnya, karena baunya yang semerbak itu.

 

Wajahnya yang mulia cerah bercahaya bagaikan cerahnya bulan di malam bulan purnama. Orang yang menggambarkan sifat-sifatnya berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang yang menyerupainya, baik sebelum dan sesudahnya.”

 

Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang sangat pemalu dan tawadhu’, menambal sandal, menambal dan menjahit pakaian, memerah susu kambing serta melayani keluarga dengan cara yang baik. Rasulullah suka kepada orang-orang fakir miskin dan duduk bersama mereka. Beliau sering mengunjungi orang sakit, dan mengantar jenazah.

 

Beliau sama sekali tidak mau meremehkan orang fakir yang sangat menderita dan dicekam kefakiran. Beliau suka memaafkan orang dan tidak pernah menerima seseorang dengan cara yang tidak disukai. Beliau tidak gentar menghadapi para raja. Bila marah, beliau marah hanya karena untuk menegakkan ajaran-ajaran Allah. Bila beliau rela, maka semata-mata karena kerelaan Allah.

 

Beliau berjalan di belakang para sahabatnya dan berkata, “Kosongkanlah tempat di belakangku untuk para Malaikat Ruhaniyah.” Beliau suka menunggang unta, kuda, bighal dan keledai yang merupakan hadiah para raja. Beliau pernah menyelipkan batu di perutnya untuk mengurangi rasa lapar, meski telah dianugerahi segala kunci kekayaan bumi.

 

Beliau senantiasa mempersedikit kata-kata yang tidak berguna dan selalu memulai mengucapkan salam jika bertemu dengan seseorang. Beliau memanjangkan shalat dan memendekkan khutbah pada saat shalat Jum’at.

 

Beliau suka bergaul dengan orang-orang yang berbudi luhur dan memuliakan orang-orang yang terhormat. Beliau suka bergurau, namun tidak mengatakan sesuatu kecuali perkataan yang benar yang disukai Allah SWT dan diridhai-Nya.

Muda Belia, Bakatnya Segudang

Muda Belia, Bakatnya Segudang



Muhammad Rosyiid Ihzaa Saputra atau yang biasa dipanggil, adalah salah satu kader IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) Kota Madiun yang memiliki bakat segudang dalam bidang musik. Remaja yang sekarang duduk di bangku SMP ini mengaku bakatnya muncul ketika waktu kecil (red: balita) sering diajak oleh sang ayah untuk melihat latihan karawitan. Lama-kelamaan, karena mendengar indahnya harmonisasi nada dari alat musik karawitan yang dimainkan oleh sang ayah dan kawan-kawan, membuat Rosyid mulai tertarik untuk mempelajarinya.

 

Bakatnya yang mulai tercium oleh sang ayah, sehingga membuat sang ayah berhasrat untuk mengajarinya bermain musik. Diawali dari belajar dari alat musik karawitan hinga kini bisa memainkan gitar, drum dan keyboard. Remaja lulusan SDN 02 Mojorejo ini memaparkan bahwa dengan bermain musik hati bisa menjadi senang dan orang lain yang mendengarkannya pun bisa terhibur.

 

Anak ke 3 dari 3 bersaudara ini sangat mengidolakan sosok H. Rhoma Irama, karena memang dia sangat tertarik dengan musik dangdut. Baginya karya ataupun lagu dari Si Raja Dangdut itu tidak hanya mengedepankan musikalitas saja tetapi juga memiliki makna lirik yang juga dalam, terkadang dibumbui pula dengan nasehat-nasehat agama.

 

Pemilik kanal YouTube Sun Production ini telah mengikuti beberapa perlombaan mulai tingkat kota hingga terakhir yang diikutinya porseni tingkat provinsi yang diadakan di Malang sebelum Pandemi Covid-19. Dengan motto hidup untuk selalu bermanfaat bagi orang lain, kader IPNU satu ini mengimpikan untuk memiliki studio musik sendiri agar dapat berlatih dan sharing bersama rekan-rekan lainnya untuk mengembangkan bakatnya.

 

Di akhir sesi wawancara, remaja kelahiran Madiun 15 November 2008 ini memberikan pesan kepada teman-teman sebayanya pada khususnya dan umumnya pada pembaca sekalian, “Teruslah semangat dalam belajar agar bisa mencapai yang diinginkan.”


Tuesday, September 21, 2021

MAULID NABI SAW

MAULID NABI SAW



Apa hukum merayakan Maulid dan berkumpul untuknya?


Merayakan Maulid merupakan wujud ekspresi untuk mengingat berbagai kisah yang diriwayatkan tentang permulaan dan perkembangan sejarah Nabi SAW, perkara-perkara luar biasa yang menunjukkan kenabian beliau, tanda-tanda kebesaran dan mukjizat-mukjizat yang terjadi pada kelahiran beliau. Berkumpulnya manusia dalam rangka itu termasuk perkara baru yang baik. Orang yang melakukannya beroleh pahala. Sebab di dalamnya mengandung pengagungan pada kedudukan Nabi SAW, menyatakan kegembiraan dan sukacita terhadap kelahiran beliau yang mulia, membagikan makanan, dan sisi-sisi bernilai ibadah, serta hal-hal menggembirakan hati.


Al-Qur'an al-Karim mensinyalir kisah kelahiran beliau dan pengagungan perihal beliau dalam surah Ash-Shoff yang dikisahkan melalui Sayyidina Isa bin Maryam AS, dalam firman-Nya:

وَإِذْ قَالَ عِيسَى ٱبْنُ مَرْيَمَ يَبَنِى إِسْرَاءِيلَ إِنِّى رَسُولُ اللّهِ إِلَيْكُمْ مُّصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَىَّ مِنَالتَّورَىةِ وَمُبَشِّرَا بِرَسُولٍ يَأْتِى مِن بَعْدِى ٱسْمُهُ، أَحْمَدُ

"Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, 'Wahai Bani Isroil! Sesungguhnya aku utusan ALLooh kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurot, dan memberi kabar gembira dengan seorang Rosul yang akan datang setelahku, yang namanya Achmad (Muchammad)'." [QS. Ash-Shoff: 6]

Sunday, September 19, 2021

Kegigihan Nyai Sholeha Melawan PKI

Kegigihan Nyai Sholeha Melawan PKI



Pada tanggal 5 Oktober 1965 silam, Muslimat bersama PBNU menandatangani sikap mengutuk penghianatan PKI. Muslimat NU saat itu diwakili Nyai Sholeha Wahid Hasyim. Pada hari yang sama, Muslimat NU juga turut menandatangani pernyataan sikap Front Pancasila agar Pemerintah menindak tegas dan membubarkan PKI.


Setahun sebelum meletusnya G/30S PKI, pada 1964 Muslimat NU gencar melakukan Sukarelawati bertempat di Pusat Pendidikan Hansip Pusat. Kegiatan ini dipimpin oleh Nyai Saifuddin Zuhri dengan pengasuh asrama Chadidjah Imron Rosjadi. Kegiatan ini mendapat restu dari PBNU melalui surat tanggal 5 Oktober Nomor 2207/B/x/64.

 

Materi pendidikannya antara lain baris berbaris, teknik menggunakan senjata, latihan menembak, bongkar pasang senjata dengan mata tertutup, cara menanggulangi kebakaran, PPPK, dan perawatan keluarga. Kegiatan ini diikuti peserta dari berbagai daerah.

Dua hari setelah meletusnya G/S30 PKI, Muslimat NU membuat pernyataan sikap menolak permintaan Dewan Revolusi memasukkan nama Mahmudah Mawardi sebagai anggota. Pada 2 Oktober 1965, Nyai Sholeha Wahid Hasyim kembali mewakili Muslimat NU dalam menghadiri rapat MPRS.

Tak berhenti di sana, Muslimat NU dengan dikomandoi Nyai Sholeha juga meminta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk membubarkan Taman Kanak-kanak "Melati" yang dikelola oleh Gerwani (Gerakan Perempuan Indonesia), sayap perempuan PKI. Isu pembubaran ini dibawa Muslimat pada rapat Dewan Pimpinan Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

"Akhirnya TK melati diambil alih dari Gerwani oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,"

Perjuangan melawan PKI terus dilakukan Muslimat NU, pada tanggal 8 November 1965 di bawah pimpinan Asmah Sjachruni (Muslimat NU) dan Nyai Arudji Kartawinata (PSII) mengadakan demonstrasi besar-besaran menuntut pembubaran PKI. Perjuangan Muslimat juga dilakukan dalam organisasi Kesatuan Aksi Perempuan Indonesia (KAWI). KAWI bubar setelah tuntutan Tritura (bubarkan PKI, bubarkan kabinet dan turunkan harga barang) terwujud.

Setelah PKI bubar, Nyai Soleha kembali melanjutkan perjuangannya lewat pendidikan, sosial dan keagamaan seraya membesarkan putra-putrinya. Gerakan secara kultural ini berlanjut hingga wafat. Nyai Sholeha tidak menikah lagi setelah cerai wafat dengan Kiai Wahid Hasyim. Meskipun saat itu usianya masih 30 tahun saat menjanda.

 

Dalam karier politik, Nyai Soleha pernah menjadi anggota DPRD DKI pada pemilu 1955. Pada 1960 ia diangkat menjadi anggota DPR GD dan menjadi anggota DPR RI pada tahun 1971 mewakili partai Nahdlatul Ulama. Pada 1982 terpilih lagi melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hingga1987.

Selain berjuang di parlemen, Nyai Sholeha juga turut serta mengisi pembangunan Indonesia yang baru merdeka. Dalam periode 1958-1960, di jajaran Badan Kerja Sama (BKS) Perempuan militer yang digerakkan ABRI, Muslimat NU memperoleh kepercayaan duduk sebagai wakil Bendahara atas nama Sholeha Wahid Hasyim lagi. Selanjutnya pada periode 1960-1962 posisi ini digantikan oleh Malichah Agus dan dilanjutkan oleh Aisyah Hamid Baidlowi (1963-1964).

 

Bulan Desember sejak tahun 2009 identik dengan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid). Hal ini berkaitan erat dengan tanggal wafatnya Gus Dur yang jatuh pada 30 Desember 2009. Membicarakan Gus Dur tidak akan lengkap tanpa membahas sosok perempuan yang melahirkannya, Nyai Sholeha Wachid Hasyim atau istri dari mantan Menteri Agama RI KH A Wachid Hasyim.

 

Dalam 'Seribu Jilid Makna Jejak Ibu" pada buku Ibuku Insiprasiku, Gus Dur mengatakan bahwa ibunya bagaikan "Ayam Induk" bagi pimpinan NU. Ibunya tidak banyak bicara tentang kesetaraan gender, tetapi beliau melaksanakannya jauh sebelum masyarakat membahasnya.

 

Tokoh yang sangat dihormati Gus Dur ini, wafat pada Jumat, 29 Juli 1994, sekitar pukul 23.00 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Usianya kala itu 72 tahun. Jenazahnya dimakamkan di kompleks pemakaman Tebuireng Jombang.

Sang Bunda dilahirkan di Jombang pada 11 Oktober 1922. Ia anak kelima KH Bishri Syansuri dengan istri Nyai Hj Nur Chadijah (adik dari KH A Abdul Wahab Hasbullah) dari 10 saudara.

"Nama kecilnya adalah Munawwaroh,"

 

Munawwaroh kecil dididik dalam bidang keilmuan pesantren oleh ayahnya di Pesantren Denanyar. Saat usia menginjak 14 tahun, ia dinikahkan dengan Gus Abdurrahim, anak dari Kiai Cholil Singosari, tetapi sang suami kemudian wafat pada tahun awal pernikahan mereka.

 

Selanjutnya ia menikah dengan Kiai Wachid Hasyim pada tahun 1936 M, tepat hari Jumat, 10 Syawal 1356 H. Setelah menikah, pada awalnya, mereka tinggal di Denanyar, tetapi kemudian pindah ke Pesantren Tebuireng, sampai sekitar tahun 1942.

 

Nyai Soleha bagi Gus Dur merupakan sosok yang lengkap, selain ibu juga bertugas sebagai ayah. Dikarenakan ayahnya Gus Dur wafat saat ia masih kecil. Karakter Gus Dur banyak dipengaruhi oleh Nyai Sholeha Wachid Hasyim. Sifat yang turun ke Gus Dur terpancar dalam keteguhan memegang prinsip dan kepedulian kepada mereka yang terpinggirkan. Kemudian hari tak mengherankan Gus Dur dikenal sebagai bapak pluralisme Indonesia.

 

Gus Dur begitu mencintai dan taat pada ibunya. Sering kali dalam rapat keluarga Gus Dur punya pandangan sendiri yang berbeda dengan adik-adiknya. Ketika tidak ditemukan solusi karena Gus Dur tidak sepakat, maka saudara-saudaranya melaporkan ke Nyai Sholeha jika Gus Dur tidak sepakat. Ajaibnya, saat sang ibu meminta Gus Dur mengikuti hasil rapat, maka ia pun segera mengiyakan.

 

Sejarah mencatat, keahlian dalam diplomasi yang dimiliki oleh kader Muslimat NU seperti Nyai Sholeha membuat ia bisa duduk di parlemen. Ini juga menjadi pertimbangan pemerintah saat itu sehingga melibatkan Muslimat NU dalam Kongres Islam Asia Afrika yang di selenggarakan di Bandung 1964.

 

"Pimpinan Muslimat NU yang masuk dalam jajaran kepanitian acara ini adalah Nyai Sholeha Wahid Hasyim (Wakil Bendahara) sendiri dan Mahmudah Mawardi (SC) yang merangkap sebagai juru bicara mewakili Indonesia,"

 

Beberapa organisasi sosial yang digeluti Nyai Sholeha antara lain Yayasan Dana Bantuan (YDB), Yayasan Bunga Kamboja, Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI), Home Care, panti jompo dan pengajian untuk para ibu yang dinamakan al-Ishlah di Mataraman. Di dalamnya ia sangat aktif dan cukup berperan.

 

Sosok Nyai Sholeha tergambar jelas dalam buku "Ibuku inspirasiku" yang ditulis oleh kedua putranya, Gus Dur dan Pengasuh Tebuireng saat ini KH Salahuddin Wahid. Nyai Sholeha Wahid di mata kedua putranya adalah pribadi yang terbuka dan mudah bergaul dengan siapa saja, ia sangat rajin melakukan silaturahim dengan banyak pihak.

 

Kediamannya kerap menjadi tempat pertemuan tokoh-tokoh bangsa terutama kaum Nahdliyin untuk berdiskusi dan merancang strategi. Apalagi saat dua tokoh NU KH A Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri masih hidup.

"Nyai Sholeha adalah Muslimat sejati, meskipun membesarkan enam anaknya sendiri tapi sukses mengantar anaknya menjadi orang besar. Seperti Gus Dur yang jadi ketua umum NU dan presiden,"

Saturday, September 18, 2021

Bid’ah

Bid’ah



Definisi Bid’ah

Imam an-Nawawi dan Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam mendefinisikan bid’ah dengan redaksi yang hampir sama yaitu: “Melakukan sesuatu yang baru, yang tidak ditemukan di masa Rasulullah SAW.” [An-Nawawi, at-Tahdzib, III/22 dan Ibn Abdissalam Qawaid al-Ahkam, II/172]

 

Klasifikasi Bid’ah

Hadits-hadits peringatan menjauhi bid’ah selalu didahului dengan anjuran melakukan sunnah. Seperti hadits shohih:

 فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكْوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة. (رواه أبو داود والترمذي)

“Barangsiapa yang hidup setelahku, maka akan melihat perbedaan yang banyak. Maka berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah para Khalifah yang mendapat petunjuk, pegangilah dengan sekuat kalian. Dan jauhilah setiap sesuatu yang baru, karena setiap bid’ah adalah sesat.” [HR. Imam Abu Daawud dan Imam Tirmidzi]

 

Namun sesuatu yang baru yang berdasarkan sunnah tidak masuk dalam kategori bid’ah yang sesat tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam hadits shohih yang lain:

 مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ. (رواه مسلم وأحمد)

“Barangsiapa yang melakukan sunnah yang baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukannya setelahnya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun. Barangsiapa yang melakukan sunnah yang buruk dalam Islam, maka akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang melakukannya setelahnya tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” [HR. Imam dan Imam Achmad]

 

Ahli hadits, seperti Imam Nawawi berkata:

 وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ تَخْصِيصُ قَوْلِهِ صلى الله ع وسلم: كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَأَنَّ الْمُرَاد بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُومَةُ.

“Hadits pertama (tentang setiap bid’ah adalah sesat) masih bersifat umum dan ditakhshish (dijelaskan) denga hadits kedua (tentang sunnah yang baik dan buruk). Sehingga bid’ah di atas dibagi menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah (baik) dan sayyiah (buruk).” [An-Nawawi, Syarah Shohih Muslim, III/461]

 

Ahli hadits lain, al-Hafidz Ibn Hajar sependapat dengan Imam an-Nawawi. Bahkan ia mengutip pendapat dari Imam asy-Syafi’i yang diriwayatkan oleh al-Hafidz al-Baihaqi dan al-Hafidz Abu Nu’aim yang berbunyi:

 قَالَ الشَّافِعِي الْبِّدْعَةُ بِدْعَتَانِ مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.

“Sesuatu yang baru (bid’ah) ada dua, terpuji (mahmudah) dan tercela (madzmumah). Bila sesuai dengan sunnah, maka terpuji. Dan bila bertentangan dengan sunnah, maka tercela.” [Ibn Hajar, Fath al-Bari Syarah Shohih al-Bukhari, XX/253]

 

Amaliah yang Punya Dalil Bukan Bid’ah

Amaliah yang tidak punya dalil secara khusus memang sering dituduh bid’ah. Tentu tuduhan ini tidak benar. Ahli hadits al-Hafidz Ibn Hajar berkata:

 وَالْمُرَاد بِقَوْلِهِ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، مَا أُحْدِث وَلَا دَلِيل لَهُ مِنْ الشَّرْع بِطَرِيقِ خَاصٍّ وَلَا عَامٍّ.

“Yang dimaksud sabda Nabi ‘Semua bid’ah sesat’ adalah sesuatu yang diperbarui namun tidak punya dalil secara syar’i. baik secara khusus maupun secara umum.” [Ibn Hajar, Fath al-Bari Syarah Shohih al-Bukhari, XX/330]

 

Dengan demikian amaliah yang punya dalil secara umum bukanlah bid’ah yang tercela.

Thursday, September 16, 2021

Asal Mula Kata “Nahdlah” dan “Ulama”

Asal Mula Kata “Nahdlah” dan “Ulama”



Saat KH. Hasyim Asy’ari hendak mendirikan organisasi ulama (belum bernama NU), beliau menyebutnya sebagai Jam’iyyah Ulama (Rekaman pidato KH. As'ad tentang sejarah berdirinya NU), atau perkumpulan para ulama. Di saat para ulama berkumpul di Jl. Bubutan Surabaya, 31 Januari 1926 M/ 16 Rajab 1344 H, adalah Kiai Mas Alwi yang mengusulkan kata Nahdlatul Ulama. Sebelum berdirinya NU, kata Nahdlah (bangkit) bukan kata yang asing. Misalnya ditemukan dalam nama Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Saudagar) dan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Negeri).


Kiai Hasyim bertanya kepada Kiai Mas Alwi: “Mengapa Nahdlatul Ulama?” Kiai Mas Alwi menjawab: “Sebab tidak semua ulama memiliki jiwa Nahdlah, kiai. Ada ulama yang sekedar diam di pondoknya saja, dan yang ada di dalam organisasi ini adalah ulama yang memiliki jiwa Nahdlah”. Kiai Hasyim Asy’ari menerimadan kiai-kiai yang lain menyetujuinya. (Hasil wawancara M. Ma'ruf Khazin dengan Gus Solahuddin Azmi bin KH. Mujib bin KH. Ridwan Abdullah pencipta lambang NU. Hingga kini nama Kiai Mas Alwi jarang disebutkan dalam jajaran pendiri NU, mungkin di antaranya karena faktor tidak punya keturunan. Bahkan makamnya hanya terletak di pemakaman umum, Rangkah Surabaya. Padahal kiprahnya sangat besar, khususnya sebelum berdirinya NU, baik di sekolat Nahdlatul Wathan maupun dalam persiapan berdirinya NU bersama KH. Wahab Hasbullah dan KH. Ridwan Abdullah di Surabaya)


Lalu dari mana asal kalimat Nahdlah dan Ulama diambil? Menurut KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) [Disampaikan dalam acara Halal bi Halal PCNU Kota Surabaya, 2006] dua kalimat tersebut diambil dari kata mutiara kitab al-Hikam karya Syaikh Ibn ‘Athaillah as-Sakandari dan Surat Fathir ayat 28. Nahdlah diambil dari kalimat:

لَا تَصْحَبْ مَنْ لَا يُنْهِضُكَ حَالُهُ وَ لَا يَدُلُّكَ عَلَى اللّهِ مَقَالُهُ.

“Janganlah kamu bersahabat dengan seorang yang perilakunya tidak membuatmu bangkit, dan ucapannya tidak mengarahkanmu kepada Allah.” [Athaillah as-Sakandari, al-Hikam]


Sedangkan kata Ulama diambil dari ayat berikut:

إِنَّمَا يَخْشَى اللّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ. (فاطر: ٢٨)

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” [QS. Fathir:28]

Wednesday, September 15, 2021

Kisah Kiyai Sahal Mahfuzh Tak Bertemu Istri Usai Akad Nikah

Kisah Kiyai Sahal Mahfuzh Tak Bertemu Istri Usai Akad Nikah



Banyak orang yang sudah mengetahui kalau KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfuzh (1937-2014) adalah bukan hanya seorang kiai yang mengajar kitab kuning di pondok, bukan pula Kiyai yang hanya memberikan nasihat kepada santri dan kaumnya.


Tetapi beliau juga dikenal sebagai Kiyai yang mampu menggerakkan ekonomi ummat, Kiyai yang piawai menulis hingga melahirkan puluhan karya tulis, dan Kiyai yang aktif berorganisasi.


Kiyai Sahal terpilih menjadi Rais ‘Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tiga kali periode secara berturut-turut: sejak Muktamar NU yang ke-31 di Lirboyo tahun 2000, kemudian Muktamar NU di Donohudan Solo tahun 2005, dan Muktamar NU di Makassar tahun 2010.


Bisa dikatakan kalau kiprah Kiyai Sahal di masyarakat dan di organisasi -NU dan MUI- sudah diketahui khalayak umum. Namun, mungkin hanya sedikit saja yang mengetahui kehidupan rumah tangga Kiyai Sahal, terutama tentang proses pernikahan Kiyai Sahal dan istrinya Nyai Nafisah yang memiliki keunikan tersendiri karena tidak sesuai dengan lazimnya. 


Kiyai Sahal mengakhiri masa lajangnya bersamaan dengan hari ulang tahun Republik Indonesia yang kesebelas, 17 Agustus 1966. Ia menikah dengan wanita yang tidak dikenalnya. Nafisah namanya. Anak dari KH. Fatah dan cucu dari KH. Bisri Syansuri.


Bagi Kiyai Sahal, proses pernikahannya dengan Nafisah terasa begitu mendadak. Ketika itu ia sedang mengunjungi sanak keluarga yang ada di desa Sirahan Cluwak Pati, kemudian datanglah seorang santri dan berkata bahwa Kiyai Sahal diminta oleh pamannya, KH. Abdullah Salam, untuk pulang segera ke Kajen, Pati. Dalam perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan. Ada gerangan apa sehingga ia diminta pulang dengan segera.


Sesampai di Kajen, Kiyai Sahal mendapati beberapa Kiyai yang sedang berkumpul, di antaranya adalah KH. Abdullah Salam, KH. Bisri Syansuri, serta beberapa Kiyai Kajen. Tentu saja itu membuat Kiyai Sahal kaget dan bertanya-tanya. Ia mendekati KH. Abdullah Salam dan bertanya perihal berkumpulnya orang-orang tersebut. Kemudian dijelaskan bahwa dia akan segera dinikahkan dengan anaknya KH. Fatah, Jombang.


Sebagai seorang yang percaya kepada pamannya, ia mengiyakan saja perjodohan tersebut meskipun ia belum mengetahui calon istrinya itu. Dan tidak berlangsung lama, akad nikah pun segera dimulai dengan dipimpin oleh KH. Bisri Syansuri.

Uniknya, Kiyai Sahal baru bertemu istrinya dua tahun setelah akad ijab kabul nikah tersebut, yakni pada tanggal 6 Juni 1968. Jadi, setelah akad, ia menjalani hari-harinya sebagaimana sebelumnya, tanpa hidup bersama istrinya tersebut. Karena memang pada waktu itu, Nafisah baru menjadi mahasiswi tingkat tiga di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Pada awal-awal kehidupan rumah tangga mereka berjalan sebagaimana yang orang-orang alami, yakni melakukan berbagai macam usaha -mulai dari jualan kitab (Kiyai Sahal) dan menjahit (Nyai Nafisah)- untuk menggerakkan perekonomian rumah tangga.

Ada persamaan antara kisah pernikahan Kiyai Sahal dan sepupu, Gus Dur. Kalau Kiai Sahal tidak ketemu sang istri selama dua tahun, maka Gus Dur juga tidak ketemu istri selama tiga tahun semenjak akad nikah. Mereka berdua juga sama-sama sudah dipanggil oleh Allah SWT. Lahumul-Fatihah.

~ Penulis: Muchlishon Rochmat, Alumni Perguruan Islam Mathal’ul Falah Kajen Pati.

Sumber: NU Online

Pengamalan Hadits Dha’if

Pengamalan Hadits Dha’if



Hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik sabdanya, perbuatannya maupun persetujuannya terhadap hal-hal yang dilakukan para sahabat (taqrir). Tidak semua hadits dapat diterima, sebab kadang dijumpai hadits-hadits palsu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, sementara beliau tidak bersabda demikian. Karenanya ulama membagi criteria kualitas hadits menjadi tiga: shohih, hasan dan dha’if.

Hadits Shohih

Hadits Hasan

Hasan Dha;if

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang adil (terpercaya), memiliki daya ingat kuat, sanadnya bersambung, tidak ada ‘illat (cacat) dan tidak syadz (bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat)

Hadits hasan punya definisi yang sama dengan hadits shohih. Namun perbedaannya terletak kepada daya ingat perawi. Jika daya ingatnya di bawah perawi shohih, maka masuk kategori hasan.

Hadits yang tidak memenuhi syarat hadits shohih dan hasan, karena:

-          Perawi tidak adil,

-          Sanad terputus,

-          Perawi pelupa,

-          Ada cacat,

-          Ada syadz.

 

Suatu hadits dikategorikan menjadi dha’if dikarenakan dua faktor, yaitu: internal, kedha’ifan pada diri perawi (seperti lemah  ingatannya, tidak diketahui perilaku dan sebagainya), atau faktor  eksternal, berupa terputusnya sanad (mata rantai para perawi yang menghubungkan hadits sampai pada Nabi SAW).

 

Sementara macam-macam hadits dha’if adalah:

Dha’if Sanad Terputus

Dha’if Perawi Tercela

1.  Mursal

1. Matruk

2. Muharraf

2.  Munqathi’

3. Munkar

4. Mubham

3.  Mu’dhal

5. Mudraj

6. Majhul

4.  Mudallas

7. Maqlub

8. Mastur

5.  Muallaq

9. Mudhtarib

10. Syadz

6.  Muallal

11. Mushahhaf

12. Mukhtalif

Hadits-hadits dha’if ini boleh diamalkan dalam masalah-masalah keutamaan, memotivasi ibadah, dan mendorong agar tidak melakukan perbuatan dosa. Ahli hadits Ibn Hajar mengutip pendapat ulama yang telah dijadikan kesepakatan, yaitu:

 وَقَدْ ثَبَتَ عَنِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ وَغَيْرِهِ الْأَئِمَّةِ أَنَّهُمْ قَالَ إِذَا رَوَيْنَا فِي الحَلاَلِ وَالْحَرَامِ شَدَّدْنَا وَ إِذَا رَوَيْنَا فِي الْفَضَائِلِ وَنَحْوِهَا تَسَاهَلْنَا...وَيُحْكَى عَن عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَهْدِى أَنَّهُ قَالَ: اِذَا رَوَيْنَا فِي الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ وَفَضَائِلِ الْاَعْمَالِ تَسَاهَلْنَا فِي الْاَسَانِيْدِ وَتَسَامَحْنَا فِى الرِّجَالِ وَ اِذَا رَوَيْنَا فِي الحَلاَلِ وَالْحَرَامِ وَالْاَحْكَامِ تَشَدَّدْنَا فِى الْاَسَانِيْدِ وَانْتَقَدْنَا فِى الرِّجَالِ.

“Imam Achmad dan Imam yang lain (seperti Ibn Mubarak) berkata: “Jika meriwayatkan hadits tentang halal-haram (hukum), maka kami sangat selektif (dalam hal sanad), dan jika meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan keutamaan-keutamaan, maka kami tidak begitu selektif (tetapi tidak sampai pada taraf hadits palsu).” [Ibn Hajar, al-Qaul Musaddad, I/11, Dalail an-Nubuwwah, I/34]

 

Namun beberapa syarat harus terpenuhi dalam mengamalkan hadits dha’if:

 وَشَرْطُ جَوَازِ الْعَمَلِ بِهِ: أَنْ لَا يَشْتَدَّ ضُعْفُهُ... وَأَنْ يَكُوْنَ دَاخِلاً تَحْتَ أَصْلٍ كُلِّيٍ...

“1. Bukan hadits yang sangat dha’if, 2. Memiliki kesesuaian dengan dalil yang lain (tidak bertentangan dengan dalil lain).” [Syaikh Ibn Daqiq al-'Id, Syarh al-Arbain an-Nawawi, I/4]

 

Ulama lain menambahkan syarat lain: 3. Terkait keutamaan ibadah (bukan masalah hukum). 4. Dilakukan dalam rangka ihtiyath (berhati-hati). Jika semua syarat terpenuhi maka boleh mengamalkan hadits dha’if.

Monday, September 13, 2021

Isyarat Syaikhona Kholil Bangkalan Riwayat KH. As’ad Syamsul Arifin

Isyarat Syaikhona Kholil Bangkalan Riwayat KH. As’ad Syamsul Arifin


KH. As’ad Syamsul Arifin:

”Kira-kira tahun 1920, waktu saya ada di Bangkalan (Madura), di pondok Kiai Kholil. Kiai Muntaha Jengkebuan menantu Kiai Kholil, mengundang tamu para ulama dari seluruh Indonesia. Secara bersamaan tidak dengan berjanji datang bersama, sejumlah sekitar 66 ulama dari seluruh Indonesia.


Masing-masing ulama melaporkan: “Bagaimana Kiai Muntaha,tolong sampaikan kepada Kiai Kholil saya tidak berani menyampaikannya ini semua sudah berniat untuk sowan kepada Hadhratus Syaikh. Tidak ada yang berani kalau bukan Anda yang menyampaikannya.”

Kiai Muntaha berkata: “Apa keperluannya?”

Mereka menjawab begini: “Begini, sekarang ini mulai ada kelompok-kelompok yang sangat tidak senang dengan ulama Salaf, tidak senang dengan kitab-kitab ulama Salaf. Yang diikuti hanya Qur’an dan Hadits saja. Yang lain tidak perlu diikuti. Bagaimana pendapat pelopor-pelopor Walisongo karena ini yang sudah berjalan di Indonesia? Sebab rupanya kelompok ini melalui kekuasaan pemerintah Jajahan, Hindia Belanda. Tolong disampaikan pada Kiai Kholil.”


Sebelum para tamu sampai ke kediaman Kiai Kholil dan masih berada di Jengkuban, Kiai Kholil menyuruh Kiai Nasib:

“Nasib, ke sini! Bilang kepada Muntaha, di Qur’an sudah ada, sudah cukup:

يُرِيدُونَ أَن يُطْفِؤُواْ نُورَ اللّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّهُ إِلَّا أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ. (التوبة: ٣٢)

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Alloh dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Alloh tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” [QS. At-Taubah: 32]


Jadi para tamu belum sowan sudah dijawab oleh Kiai Kholil. Ini karomah, belum datang sudah dijawab keperluannya. Jadi para ulama tidak menyampaikan apa-apa, cuma bersalaman. “Saya puas sekarang” kata Kiai Muntaha. “Jadi saya belum sowan, sudah dijawab hajat saya ini” lanjutnya.


Tahun 1921-1922 ada musyawarah di Kawatan (Surabaya) di rumah Kiai Mas Alwi. Ulama-ulama berkumpul sebanyak 46, bukan 66. Tapi hanya seluruh Jawa, bermusyawarah termasuk Abah saya (KH. Syamsul Arifin), termasuk Kiai Sidogiri, termasuk Kiai Hasan almarhum, Genggong, membahas masalah ini. Dari Barat Kiai Asnawi Kudus, ulama-ulama Jombang semua, namun tidak menemukan kesimpulan. Sampai tahun 1923, kata seorang Kiai: “Kita mendirikan Jam’iyyah” kata yang lain: “Syarikat Islam ini saja diperkuat.” Kata yang lain: “Organisasi yang sudah ada saja.” Belum ada NU. (Sementara) yang lain sudah merajalela. Tabarruk-tabarruk sudah tidak boleh.

Para ulama belum menemukan kesimpulan. Tahun 1924, Kiai (Kholil) memanggil saya: “As’ad, kesini kamu! Besok kamu pergi ke Hasyim Asyari Jombang. Tahu rumahnya?” “Tahu, kiai” (Jawab Kiai As’ad). Kiai Kholil berkata: “Tongkat ini antarkan, berikan pada Hasyim. Ini tongkat kasihkan.” “Ya, Kiai.” (Jawab Kiai As’ad). Kiai berkata: “Ini (tongkat) kasihkan ya …” Kiai Kholil membaca surat Thoha: 17-21:

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى. قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيْهَا مَآرِبُ أُخْرَى. قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى. فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى. قَالَ خُذْهَا وَ لَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيْرَتَهَا الْأُولَى.

“Apa itu yang di tangan kananmu, hai Musa?” Musa menjawab: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” Alloh berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkanlah tongkat itu, tiba-tiba ia menjadi ular yang meraya dengan cepat. Alloh berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya pada keadaannya semula.”

Sesampai di Jombang, Kiai As’ad berkata: “Begini Kiai, saya disuruh Kiai (Kholil) untuk mengantar tongkat.” Kiai Hasyim: “Tongkat apa?” Kiai As’ad berkata: “Saya menyampaikan surat Thoha: 17-21.”

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى. قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيْهَا مَآرِبُ أُخْرَى. قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى. فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ 

حَيَّةٌ تَسْعَى. قَالَ خُذْهَا وَ لَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيْرَتَهَا الْأُولَى.

“Apa itu yang di tangan kananmu, hai Musa?” Musa menjawab: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” Alloh berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkanlah tongkat itu, tiba-tiba ia menjadi ular yang meraya dengan cepat. Alloh berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya pada keadaannya semula.”


Kiai Hasyim berkata: “Alhamdulillah, Nak. Saya ingin mendirikan Jam’iyyah Ulama. Saya teruskan kalau begini. Tongkat ini tongkat Nabi Musa yang diberikan Kiai Kholil kepada saya.” Inilah rencana mendirikan Jam’iyyah Ulama. Belum ada Nahdlatul Ulama.

Tahun 1924 akhir, saya dipanggil lagi oleh Kiai Kholil, “As’ad, ke sini! Kamu tidak lupa rumahnya Hasyim? Ini tasbih antarkan”, Kiai As’ad menjawab: “Ya, Kiai.” Kemudian tasbih itu dipegang ujungnya dan Kiai Kholil berdoa: “Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qohhar, Ya Qohhar, Ya Qohhar.”

Saya lalu sampai di Tebuireng. Kiai Hasyim bertanya: “Apa itu?” (Kiai As’ad): “Saya mengantarkan tasbih.” Kiai Hasyim: “Masyaallah, masyaallah. Saya diperhatikan betul oleh guru saya. Mana tasbihnya?” Kemudian diambil oleh Kiai Hasyim. “Apa kata Kiai Kholil?” (Kiai As’ad): “Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qohhar, Ya Qohhar, Ya Qohhar.” Kiai Hasyim berkata: “Siapa yang berani pada NU akan hancur. Siapa yang berani pada ulama akan hancur.” Ini dawuhnya.

Pada tahun 1925, Kiai Kholil wafat tanggal 29 Ramadhan banyak orang melayat. Akhirnya pada tahun 1926 bulan Rojab diresmikan Jam’iyyatul Ulama. Ini sudah dibuat, organisasi sudah disusun. Termasuk yang menyusun adalah Kiai Dahlan dari Nganjuk, yang membuat Anggaran Dasar. Kemudian para ulama sidang lagi untuk mengutus kepada gubernur jenderal.”

Sunday, September 12, 2021

Rahasia Keberanian Kiai Mahrus

Rahasia Keberanian Kiai Mahrus


Pada tahun 1972 di masa Orde Baru, orang Islam membentuk sebuah partai untuk mengikuti pemilihan umum pada masa itu. Kemudian diadakanlah kampanye di kota Kediri. Pembicara yang diundang salah satunya adlaah (alm  KH. Imron Hamzah.


Malam harinya mobil sudah tidak bisa lewat, karena Kediri sudah dibanjiri lautan manusia. Parkir kendaraan pengunjung yang akan mengikuti kampanye sangat panjang. Dari arah selatan, parkir mobil sampai ke Ngadiluwih. Yang dari arah timur sampai Gurah. Yang dari utara sampai di Jampes.


Melihat fenomena ini pihak pemerintah ORBA merasa khawatir, betapa popularitas partai ini semakin tinggi. Akhirnya pemerintah menetapkan pembicara harus diganti semua. Jika tidak, kampanye tidak bisa dilakukan. Orang-orang bingung. Akhirnya sowan kepada Hadhrotil Mukarrom KH. Mahrus Ali meminta solusi.


Akhirnya pagi-pagi jam 06.00 WIB. Kiai Mahrus memanggil Kiai Aziz Manshur dan Kiai Ma’shum Jauhari diajak menemui pihak aparat terkait. Setelah sampai di sana, dengan lantang dan berani Kiai Mahrus membentak aparat tersebut.

“Mengapa dilarang?”

“Rusuh.” Jawab aparat tadi.

“Rusuh mana dengan kamu?” bentak Kiai Mahrus.


Terjadi perdebatan panjang, sampai Kiai Mahrus menggebrak meja berkali-kali. Beliau meminta agar larangan izin penceramah dicabut.


“Ini perintah dari atasan Pak Kiai. Kalau saya tidak jalankan, besok saya dipecat. Apa yang saya makan?” jawab aparat tadi dengan ketakutan.

“Ya sudah, sekarang tidak apa-apa. Tiga hari lagi harus sudah diberikan izin.” Tandas Kiai Mahrus.


Beliau bertiga kemudian pulang. Kiai Aziz muda dan Kiai Ma’shum muda hanya dia menyaksikan. Beliau berdua diajak oleh Kiai Mahrus agar mengerti seperti inilah tugas Kiai.


Setelah pulang, Kiai Aziz bertanya kepada Mahrus, “Mbah Yai panjenengan kok berani sekal. Di hadapan orang berseragam hijau nggebrak-nggebrak, mereka hanya diam. Apa doanya Mbah Yai?”

“Hus , gak ada doanya. Rahasianya hanya: “Man taqollohat taqohu kullu syai-in

“ORANG YANG TAKUT (TAQWA) KEPADA ALLOH, SIAPAPUN AKAN TAKUT KEPADANYA.” Jawab Kiai Mahrus dengan mantap.

Saturday, September 11, 2021

Ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah.

Ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah.



Secara garis besar ibadah ada dua jenis. Pertama, ibadah mahdhah muqayyadah, yaitu ibadah yang syarat, rukun dan waktunya telah dijelaskan (tauqifi) oleh Rasulullah SAW. Shalat misalnya, di dalam Al-Qur’an sudah ada perintahnya dan pelaksanaannya telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Demikian halnya dengan puasa, zakat, haji dan sebagainya. Jenis ibadah mahdhah tidak boleh ditambah atau dikurangi. Jika menyalahi, maka disebut bid’ah dhalalah (sesat).


Kedua, ibadah ghairu mahdhah atau mutlaqah ghairu muqayyadah, yaitu ibadah yang memiliki yang memiliki dalil secara umum, namun dalam pelaksanannya tidak diatur secara baku, misalnya dzikir, shalawat, doa, metode dakwah, sedekah, baca Al-Qur’an, interaksi social dan sebagainya. Sebagaimana dikatakan oleh as-Syatibi:

اِنَّ الْأَصْلَ الشَّرْعِيَّ أَنَّ كُلَّ مَطْلُوْبٍ هُوَ مِنْ جُمْلَةِ مَا بِهِ إِلَى اللّهِ تَعَالَى وَيُتَقَرَّبُ بِهِ إِلَيْهِ فَالْعِبَادَاتُ الْمَحْضَةُ ظَاهِرٌ فِيْهَا ذَلِكَ وَالْعَادَاتُ كُلُّهَا إِذَا قُصِدَ بِهَا امْتِثَالُ أَمْرِ اللّهِ عِبَادَاتٌ إِلَّا اَنَّهُ إِِذَا لَمْ يُقْصَدْ بِهَا ذَلِكَ الْقَصْدُ وَيَجِيْءُ بِهَا نَحْوَ الْحَظِّ مُجَرَّدًا فَإِذَا ذَاكَ لَا تَقَعُ مُتَعَبَّدًا بِهَا وَ لَا مُثَابًا عَلَيْهَا وَإِنْ صَحَّ وُقُوْعُهَا شَرْعًا.

“Dasar syariat menyatakan, semua perintah termasuk perbuatan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Dalam ibadah mahdhah (murni) hal itu sangat tampak. Sedangkan semua adat kebiasaan jika ditujukan mengikuti perintah Allah maka merupakan ibadah, hanya saja apabila kebiasaan itu dilakukan tanpa tujuan ibadah, maka tidak disebut ibadah dan tidak mendapat pahala, meski dibenarkan secara syariat.” [As-Syathibi, al-I’tisham, I/262]

Friday, September 10, 2021

Nahdlatul Ulama Mempertahankan Ahlussunnah wal Jama’ah

Nahdlatul Ulama Mempertahankan Ahlussunnah wal Jama’ah


Sejarah dakwah Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kiprah Wali Songo. Penyebaran Islam, khususnya di Jawa oleh pendakwah, terutama Wali Songo sukses besar. Di abad ke dan terutama setelah abad ke-11 dan ke-12, Islam menggantikan Hinduisme dan Budhisme yang sebelumnya berjaya. Pengaruh Islam masuk hingga ke pusat kerajaan dan kepemimpinan rakyat. Runtuhnya Majapahit da berdirinya kerajaan Demak di akhir tahun Jawa 1400 (1478 M), adalah bukti berubahnya kepercayaan masyarakat Jawa dari Hinduisme dan Budhisme kepada Islam.

Ajaran Walisongo adalah Islam Ahlussunah wal Jama’ah, yang disebut Sunni. Sedangkan Sunni di Indonesia dalam ajaran fikih mayoritas mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’I, dalam bidang tasawuf mengikuti Imam al-Junaid dan Imam Ghozali, serta mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi di bidang akidah. Selain ciri-ciri di atas, muslim Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia berpegang teguh pada pendapat ulama salaf dengan mengikut madzhab tertentu, serta berpegangan pada kitab-kitab mu’tabaroh, pecinta ahlul bait, wali dan para sholihin. Muslim Sunni di Indonesia ahli tabarrukan (mencari barokah) baik kepada orag yang masih hidup maupun sudah mati, menyukai ziarah kubur, mentradisikan talqin mayit, sedekah untuk mayit, berkeyakinan adanya syafa’at, kemanfaatan doa serta tawassul, dan lain sebagainya.


Setelah sekian lama Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah ditanamkan Walisongo sampai mengakar di bumi Jawa (Indonesia) pada 1330 H, ummat Islam diguncang dengan munculnya kelompok yang mengusung paham yang saling bertentangan.


Pada kurun tersebut muncul kelompok Islam modernis ajaran Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid RIdho, yang mengikuti bid’ah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan pengikut serta ajaran Ibn Taimiyyah dan kedua muridnya, yakni Ibn al-Qoyyim Jauziyyah dan Ibn Abdul Hadi. Kelompok ini mengklaim sebagai pemurni akidah dan berslogan Kembali pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Mereka sering menuduh bid’ah, khurofat dan tahayul pada ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah.


Selain itu, muncul Syiah Rofidhoh yang biasa menghujat para Sahabat Nabi RA khususnya Kholifah Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Siti Aisyah dan sahabat lainnya. Rofidhoh berlebihan dalam mengkultuskan Sayyidina Ali KWH dan Ahlul Bait.


Kelompok selanjutnya aliran kebatinan, yang mengajarkan terbebasnya ummat Islam dari menjalankan syariat, serta tidak wajib menghindari larangan syariat bagi ummat Islam yang telah beriman dan mencapai puncak mahabbah dan kesucian hati. Mereka menggugurkan ibadah lahiriah dengan mencukupkan diri beribadah dengan tafakkur dan memperbaiki akhlak batin.


Selain golongan tersebut, ada juga kelompok yang meyakini tanasukh (reinkarnasi ruh manusia). Selanjutnya muncul kelompok tasawuf yang berlebihan dengan meyakini hulul dan ijtihad


Tumbuhnya aliran-aliran menyimpang ini menimbulkan keprihatinan Ulama Nusantara penganut Ahlussunnah wal Jama’ah, khususnya menyikapi gerakan pemurnian syariat Islam yang dimotori kaum modernis secara massif dan sistematis, baik melalui propaganda dalam forum-forum kajian Islam, media massa, maupun melalui gerakan organisasi. Kekhawatiran para Ulama Nusantara tersebut tidak berlebihan sebab gerakan kaum modernis seringkali menyerang praktek peribadatan pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah, seperti tahlilan, istighotsah, tawassul, tabarruk, yasinan, talqin, ziarah qubur, peringatan mauled Nabi SAW dan selainnya yang dianggap bid’ah dan sesat.


Ulama Nusantara sebagai benteng Ahlussunnah wal Jama’ah kebanyakan adalah kiai pengasuh pondok pesantren dan para kiai yang senantiasa istiqomah berjuang di tengah-tengah masyarakat serta menjadi panutan ummat. Dengan adanya serangan kelompok modernis, mereka berupaya melakukan gerakan bersama untuk membendung penyebarannya.


Keresahan Ulama pesantren memuncak ketika ada berita Gubernur Hijaz, Sayyid Syarif Husein dikalahkan oleh Abdul Aziz bin Saud yang bekerja sama dengan Muhammad bin Abdul Wahab. Penguasa baru Hijaz ini melakukan pembersihan terhadap praketk keagamaan madzhab empat, pemaksaan ajaran Wahabi kepada ummat Islam di Hijaz dan pengusiran ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang tidak setuju terhadap kebijakan pemerintah baru. Kemenangan Ibn Saud menimbulkan polarisasi orientasi baru Islam di Indonesia, khususnya Jawa. Kalangan pesantren menganggap kemenangan Ibn Saud akan membawa dampak perubahan tradisi keagamaan menurut empat madzhab, sebab Ibn Saud dikenal beraliran Wahabi. Sementara sayap Islam modernis menyambut positif atas kemenangan Ibn Saud.


Melalui Kiai Wahab, kalangan pesantren mencemaskan kekhawatiran itu dalam sidang-sidang Komite Khilafah. Sementara kalangan modernis menghendaki agenda lama dipertahankan dibawa ke Makkah. Menurut mereka, penyerbuan Ibn Saud atas Syarif Husein bertujuan baik untuk memperbaiki tata laksana ibadah haji yang sebelumnya kacau, sering terjadi perampokan dan banyak suku Arab yang melarikan diri.


Kekecewaan ulama pesantren memuncak ketika Konggres Al-Islam di Yogyakarta 1925, para delegasi pesantren sangat kecewa pada sikap kaum modernis yang menolak usulan KH. Wahab Hasbullah agar Ibn Saud menjamin kebebasan bermadzhab untuk semua muslim di Makkah. Bahkan awal Januari 1926 para pimpinan kalangan Islam modernis mengadakan konferensi di Cianjur tanpa melibatkan Ulama Pesantren, kemudian mereka memutuskan memilih perwakilan mereka sebagai delegasi ke pertemuan di Mekkah. Peristiwa ini meyakinkan para kiai akan perlunya inisiatif-inisiatif sendiri yang terpisah dari kalangan modernis untuk menjamin pandangan dan kepentingan keagamaan mereka bisa terwakili.


Pertengahan Januari 1926, KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan restu KH. Hasyim Asy’ari mengundang Ulama Pesantren terkemuka untuk mendukung pendirian panitia yang disebut Komite Hijaz yang akan mengutus delegasi ke Makkah untuk mewakili kepentingan-kepentingan kelompok Islam kalngan pesantren. Akhirnya, 31 Januari 1926 M/ 16 Rojab 1344 H, 15 ulama berkumpul di rumah KH. Abdul Wahab Hasbullah di Surabaya dan mengesahkan bentuk kepanitiaan. Pertemuan ini selanjutnya memutuskan dua hal penting yakni: pertama, mengirim utusan Indonesia ke Muktamar Dunia Islam di Makkah, dengan tugas memperjuangkan hukum-hukum ibadah empat madzhab, kedua, membentuk suatu organisasi atau jam’iyyah yang akan mengirim utusan tersebut. Atas usul KH. Mas Alwi Abdul Aziz organisasi itu diberi nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.


Setelah kepengurusan NU terbentuk diputuskan mengirim KH. R. Asnawi Kudus sebagai delegasi NU ke Muktamar Dunia Islam di Makkah. Namun karena suatu hal, KH. R. Asnawi gagal berangkat ke Makkah. Kegagalan ini tidak menyurutkan niat para ulama NU untuk mengutus wakilnya menghadap Raja Ibn Saud. Kemudian pada 29 Maret 1928 M/ 7 Syawal 1346 H, NU mewakilkan kepada KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahmad Ghonaim al-Mishri berangkat ke Makkah untuk menghadap langsung kepada Raja Ibn Saud. Akhirnya utusan NU berhasil menghadap Raja Ibn Saud untuk memperjuangkan kepentingan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Hasil pertemuan dengan Raja Ibn Saud, pengajian di Masjidil Haram oleh para guru empat madzhab tidak dilarang. Pertemuan itu juga berhasil mencegah perusakan makam keluarga Nabi SAW dan para Imam madzhab di sekitar area Ka’bah. Berikut ini isi surat delegasi NU kepada Raja Ibn Saud.


Isi Surat Delegasi NU kepada Raja Ibn Saud. 

Segala puji bagi Allah Yang Maha Manunggal. Sholawat dan Salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW dan kepada keluarga, sahabat dan pengikutnya.


Ke hadapan yang mulia Raja Hijaz dan Najed serta kekuasaannya, semoga Allah memberikan pertolongan kepadanya di dalam mengurus segala yang menjadi kemaslahatan ummat Islam.


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Waba’du. Kami, dua orang sebagai delegasi “Jamiyyah Nahdlatul Ulama” di Surabaya, Jawa, merasa memperoleh kehormatan yang besar diperkenankan menghadap yang mulia guna menyampaikan beberapa harapan dan permohonan NU ke hadapan yang mulia beberapa hal sebagai berikut:

1. Memohon diberlakukannya kemerdekaan (kebebasan) di negeri Hijaz pada salah satu madzhab empat yakni Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali.

2. Atas dasar kemerdekaan bermadzhab tersebut, hendaknya dilakukan giliran antar imam-imam sholat Jum’at di Masjidil Haram, dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan madzhab tersebut, baik di bidang tasawuf, akidah maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, Imam Sanusi, dan lain-lainnya sudah terkenal kebenarannya. Hal tersebut tidak lain semata-mata untuk memperkuat perhubungan dan persaudaraan ummat Islam yang bermadzhab, sehingga ummat Islam menjadi sebagai tugu yang satu, sebab ummat Muhammad tidak akan bersatu dalam kesesatan.

3. Memohon untuk tetap diramaikannya tempat-tempat bersejarah yang terkenal. Karena tempat-tempat tersebut diwakafkan untuk masjid seperti tempat kelahiran Siti Fatimah dan bangunan  Kaezuran dan bangunan lainnya berdasarkan firman Allah: “Hanyalah yang meramaikan masjid Allah orang-orang yang beriman kepada Allah”, dan orang-orang yang menghalang-halangi (orang lain) untuk menyebut nama Allah dalam masjid-Nya dan berusaha untuk merobohkannya?” Di samping untuk mengambil ibarat dari tempat-tempat yang bersejarah tersebut.

4. Memohon agar disebar-luaskan ke seluruh dunia setiap tahun sebelum jatuhnya musim haji mengenai tariff/ ketentuan biaya yang harus disewakan oleh jamaah haji kepada Syeikh Muthowwif dari mulai Jeddah sampai pulang kembali ke Jeddah lagi. Dengan demikian orang yang akan menunaikan ibadah haji dapat menyediakan perbekalan yang cukup buat pulang perginya dan agar mereka tidak diminta lagi dari ketentuan pemerintah.

5. Memohon agar semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz ditulis dengan undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut.

6. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama memohon balasan surat dari yang mulia yang menjelaskan bahwa kedua orang delegasinya benar-benar sudah menyampaikan surat mandatnya dan permohonan-permohonan NU kepada yang mulia dan hendaknya surat balasan tersebut diserahkan kepada dua delegasi tersebut.

7. Perkenaan atasnya, kiranya yang mulia menerima terima kasih kami dan penghargaan, penghormatan serta tulus ikhlas kami yang setinggi-tingginya.

Wassalam warahmatullahi wabarakatuh.

Badan Otonom

Muslimat NU
Read More
GP Ansor
Read More
Fatayat NU
Read More
IPNU
Read More
IPPNU
Read More
PMII
Read More
Jatman
Read More
JQH NU
Read More
ISNU
Read More
PSNU PN
Read More

Lembaga

LP Ma'arif NU
Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama
RMINU
Rabithah Ma'ahid al-Islamiyah Nahdlatul Ulama
LBMNU
Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
LESBUMI
Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia
LAZISNU
Amil Zakat Infak dan Sedekah Nahdlatul Ulama
LTNNU
Lembaga Ta'lif Wan Nasyr Nahdlatul Ulama
LAKPESDAM
Kajian Pengembangan Sumber daya
LDNU
Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama
LPBINU
Penanggulangan Bencana Perubahan Iklim
LTMNU
Lembaga Ta'mir Masjid Nahdlatul Ulama
LKKNU
Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama
LFNU
Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama
LPBHNU
Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama
LPNU
Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama
LPPNU
Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama
LKNU
Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama
LPTNU
Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama
LTN NU
Lembaga Infokom dan Publikasi Nahdlatul Ulama
LWPNU
Wakaf dan Pertanahan Nahdlatul Ulama

Contact

Talk to us

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis)

Alamat:

Jl. Tuntang, Pandean, Kec. Taman, Kota Madiun, Jawa Timur 63133

Jam Kerja:

Setiap Hari 24 Jam

Telpon:

-