Definisi Bid’ah
Imam
an-Nawawi dan Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam mendefinisikan bid’ah dengan
redaksi yang hampir sama yaitu: “Melakukan sesuatu yang baru, yang tidak
ditemukan di masa Rasulullah SAW.” [An-Nawawi, at-Tahdzib, III/22 dan
Ibn Abdissalam Qawaid al-Ahkam, II/172]
Klasifikasi
Bid’ah
Hadits-hadits
peringatan menjauhi bid’ah selalu didahului dengan anjuran melakukan sunnah.
Seperti hadits shohih:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكْوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة. (رواه أبو داود والترمذي)
“Barangsiapa
yang hidup setelahku, maka akan melihat perbedaan yang banyak. Maka berpeganglah
dengan sunnahku dan sunnah para Khalifah yang mendapat petunjuk, pegangilah
dengan sekuat kalian. Dan jauhilah setiap sesuatu yang baru, karena setiap
bid’ah adalah sesat.” [HR. Imam
Abu Daawud dan Imam Tirmidzi]
Namun
sesuatu yang baru yang berdasarkan sunnah tidak masuk dalam kategori bid’ah
yang sesat tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam hadits shohih yang lain:
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ. (رواه مسلم وأحمد)
“Barangsiapa
yang melakukan sunnah yang baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya
dan pahala orang yang melakukannya setelahnya tanpa mengurangi pahalanya
sedikitpun. Barangsiapa yang melakukan sunnah yang buruk dalam Islam, maka akan
mendapatkan dosanya dan dosa orang yang melakukannya setelahnya tanpa
mengurangi dosanya sedikitpun.” [HR.
Imam dan Imam Achmad]
Ahli
hadits, seperti Imam Nawawi berkata:
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ تَخْصِيصُ قَوْلِهِ صلى الله ع وسلم: كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَأَنَّ الْمُرَاد بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُومَةُ.
“Hadits
pertama (tentang setiap bid’ah adalah sesat) masih bersifat umum dan
ditakhshish (dijelaskan) denga hadits kedua (tentang sunnah yang baik dan
buruk). Sehingga bid’ah di atas dibagi menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah (baik)
dan sayyiah (buruk).” [An-Nawawi,
Syarah Shohih Muslim, III/461]
Ahli
hadits lain, al-Hafidz Ibn Hajar sependapat dengan Imam an-Nawawi. Bahkan ia
mengutip pendapat dari Imam asy-Syafi’i yang diriwayatkan oleh al-Hafidz
al-Baihaqi dan al-Hafidz Abu Nu’aim yang berbunyi:
قَالَ الشَّافِعِي الْبِّدْعَةُ بِدْعَتَانِ مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Sesuatu
yang baru (bid’ah) ada dua, terpuji (mahmudah) dan tercela (madzmumah). Bila
sesuai dengan sunnah, maka terpuji. Dan bila bertentangan dengan sunnah, maka
tercela.” [Ibn Hajar,
Fath al-Bari Syarah Shohih al-Bukhari, XX/253]
Amaliah
yang Punya Dalil Bukan Bid’ah
Amaliah
yang tidak punya dalil secara khusus memang sering dituduh bid’ah. Tentu
tuduhan ini tidak benar. Ahli hadits al-Hafidz Ibn Hajar berkata:
وَالْمُرَاد بِقَوْلِهِ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، مَا أُحْدِث وَلَا دَلِيل لَهُ مِنْ الشَّرْع بِطَرِيقِ خَاصٍّ وَلَا عَامٍّ.
“Yang
dimaksud sabda Nabi ‘Semua bid’ah sesat’ adalah sesuatu yang diperbarui namun
tidak punya dalil secara syar’i. baik secara khusus maupun secara umum.” [Ibn Hajar, Fath al-Bari Syarah Shohih al-Bukhari, XX/330]
Dengan demikian amaliah yang punya dalil secara umum bukanlah bid’ah yang tercela.