Pada tanggal 5 Oktober 1965 silam, Muslimat bersama PBNU menandatangani sikap mengutuk penghianatan PKI. Muslimat NU saat itu diwakili Nyai Sholeha Wahid Hasyim. Pada hari yang sama, Muslimat NU juga turut menandatangani pernyataan sikap Front Pancasila agar Pemerintah menindak tegas dan membubarkan PKI.
Bulan Desember sejak tahun 2009 identik dengan Gus Dur (KH
Abdurrahman Wahid). Hal ini berkaitan erat dengan tanggal wafatnya Gus Dur yang
jatuh pada 30 Desember 2009. Membicarakan Gus Dur tidak akan lengkap tanpa
membahas sosok perempuan yang melahirkannya, Nyai Sholeha Wachid Hasyim atau
istri dari mantan Menteri Agama RI KH A Wachid Hasyim.
Dalam 'Seribu Jilid Makna Jejak Ibu" pada buku Ibuku
Insiprasiku, Gus Dur mengatakan bahwa ibunya bagaikan "Ayam Induk"
bagi pimpinan NU. Ibunya tidak banyak bicara tentang kesetaraan gender, tetapi
beliau melaksanakannya jauh sebelum masyarakat membahasnya.
Tokoh yang sangat dihormati Gus Dur ini, wafat pada Jumat,
29 Juli 1994, sekitar pukul 23.00 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta. Usianya kala itu 72 tahun. Jenazahnya dimakamkan di kompleks pemakaman
Tebuireng Jombang.
Sang Bunda dilahirkan di Jombang pada 11 Oktober 1922. Ia
anak kelima KH Bishri Syansuri dengan istri Nyai Hj Nur Chadijah (adik dari KH
A Abdul Wahab Hasbullah) dari 10 saudara.
"Nama kecilnya adalah Munawwaroh,"
Munawwaroh kecil dididik dalam bidang keilmuan pesantren
oleh ayahnya di Pesantren Denanyar. Saat usia menginjak 14 tahun, ia dinikahkan
dengan Gus Abdurrahim, anak dari Kiai Cholil Singosari, tetapi sang suami
kemudian wafat pada tahun awal pernikahan mereka.
Selanjutnya ia menikah dengan Kiai Wachid Hasyim pada tahun
1936 M, tepat hari Jumat, 10 Syawal 1356 H. Setelah menikah, pada awalnya,
mereka tinggal di Denanyar, tetapi kemudian pindah ke Pesantren Tebuireng,
sampai sekitar tahun 1942.
Nyai Soleha bagi Gus Dur merupakan sosok yang lengkap,
selain ibu juga bertugas sebagai ayah. Dikarenakan ayahnya Gus Dur wafat saat
ia masih kecil. Karakter Gus Dur banyak dipengaruhi oleh Nyai Sholeha Wachid
Hasyim. Sifat yang turun ke Gus Dur terpancar dalam keteguhan memegang prinsip
dan kepedulian kepada mereka yang terpinggirkan. Kemudian hari tak mengherankan
Gus Dur dikenal sebagai bapak pluralisme Indonesia.
Gus Dur begitu mencintai dan taat pada ibunya. Sering kali
dalam rapat keluarga Gus Dur punya pandangan sendiri yang berbeda dengan
adik-adiknya. Ketika tidak ditemukan solusi karena Gus Dur tidak sepakat, maka
saudara-saudaranya melaporkan ke Nyai Sholeha jika Gus Dur tidak sepakat.
Ajaibnya, saat sang ibu meminta Gus Dur mengikuti hasil rapat, maka ia pun
segera mengiyakan.
Sejarah mencatat, keahlian dalam diplomasi yang dimiliki
oleh kader Muslimat NU seperti Nyai Sholeha membuat ia bisa duduk di parlemen.
Ini juga menjadi pertimbangan pemerintah saat itu sehingga melibatkan Muslimat
NU dalam Kongres Islam Asia Afrika yang di selenggarakan di Bandung 1964.
"Pimpinan Muslimat NU yang masuk dalam jajaran
kepanitian acara ini adalah Nyai Sholeha Wahid Hasyim (Wakil Bendahara) sendiri
dan Mahmudah Mawardi (SC) yang merangkap sebagai juru bicara mewakili
Indonesia,"
Beberapa organisasi sosial yang digeluti Nyai Sholeha
antara lain Yayasan Dana Bantuan (YDB), Yayasan Bunga Kamboja, Ikatan Keluarga
Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI), Home Care, panti jompo dan pengajian untuk
para ibu yang dinamakan al-Ishlah di Mataraman. Di dalamnya ia sangat aktif dan
cukup berperan.
Sosok Nyai Sholeha tergambar jelas dalam buku "Ibuku
inspirasiku" yang ditulis oleh kedua putranya, Gus Dur dan Pengasuh
Tebuireng saat ini KH Salahuddin Wahid. Nyai Sholeha Wahid di mata kedua
putranya adalah pribadi yang terbuka dan mudah bergaul dengan siapa saja, ia
sangat rajin melakukan silaturahim dengan banyak pihak.
Kediamannya kerap menjadi tempat pertemuan tokoh-tokoh
bangsa terutama kaum Nahdliyin untuk berdiskusi dan merancang strategi. Apalagi
saat dua tokoh NU KH A Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri masih hidup.