Wednesday, September 15, 2021

Kisah Kiyai Sahal Mahfuzh Tak Bertemu Istri Usai Akad Nikah



Banyak orang yang sudah mengetahui kalau KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfuzh (1937-2014) adalah bukan hanya seorang kiai yang mengajar kitab kuning di pondok, bukan pula Kiyai yang hanya memberikan nasihat kepada santri dan kaumnya.


Tetapi beliau juga dikenal sebagai Kiyai yang mampu menggerakkan ekonomi ummat, Kiyai yang piawai menulis hingga melahirkan puluhan karya tulis, dan Kiyai yang aktif berorganisasi.


Kiyai Sahal terpilih menjadi Rais ‘Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tiga kali periode secara berturut-turut: sejak Muktamar NU yang ke-31 di Lirboyo tahun 2000, kemudian Muktamar NU di Donohudan Solo tahun 2005, dan Muktamar NU di Makassar tahun 2010.


Bisa dikatakan kalau kiprah Kiyai Sahal di masyarakat dan di organisasi -NU dan MUI- sudah diketahui khalayak umum. Namun, mungkin hanya sedikit saja yang mengetahui kehidupan rumah tangga Kiyai Sahal, terutama tentang proses pernikahan Kiyai Sahal dan istrinya Nyai Nafisah yang memiliki keunikan tersendiri karena tidak sesuai dengan lazimnya. 


Kiyai Sahal mengakhiri masa lajangnya bersamaan dengan hari ulang tahun Republik Indonesia yang kesebelas, 17 Agustus 1966. Ia menikah dengan wanita yang tidak dikenalnya. Nafisah namanya. Anak dari KH. Fatah dan cucu dari KH. Bisri Syansuri.


Bagi Kiyai Sahal, proses pernikahannya dengan Nafisah terasa begitu mendadak. Ketika itu ia sedang mengunjungi sanak keluarga yang ada di desa Sirahan Cluwak Pati, kemudian datanglah seorang santri dan berkata bahwa Kiyai Sahal diminta oleh pamannya, KH. Abdullah Salam, untuk pulang segera ke Kajen, Pati. Dalam perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan. Ada gerangan apa sehingga ia diminta pulang dengan segera.


Sesampai di Kajen, Kiyai Sahal mendapati beberapa Kiyai yang sedang berkumpul, di antaranya adalah KH. Abdullah Salam, KH. Bisri Syansuri, serta beberapa Kiyai Kajen. Tentu saja itu membuat Kiyai Sahal kaget dan bertanya-tanya. Ia mendekati KH. Abdullah Salam dan bertanya perihal berkumpulnya orang-orang tersebut. Kemudian dijelaskan bahwa dia akan segera dinikahkan dengan anaknya KH. Fatah, Jombang.


Sebagai seorang yang percaya kepada pamannya, ia mengiyakan saja perjodohan tersebut meskipun ia belum mengetahui calon istrinya itu. Dan tidak berlangsung lama, akad nikah pun segera dimulai dengan dipimpin oleh KH. Bisri Syansuri.

Uniknya, Kiyai Sahal baru bertemu istrinya dua tahun setelah akad ijab kabul nikah tersebut, yakni pada tanggal 6 Juni 1968. Jadi, setelah akad, ia menjalani hari-harinya sebagaimana sebelumnya, tanpa hidup bersama istrinya tersebut. Karena memang pada waktu itu, Nafisah baru menjadi mahasiswi tingkat tiga di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Pada awal-awal kehidupan rumah tangga mereka berjalan sebagaimana yang orang-orang alami, yakni melakukan berbagai macam usaha -mulai dari jualan kitab (Kiyai Sahal) dan menjahit (Nyai Nafisah)- untuk menggerakkan perekonomian rumah tangga.

Ada persamaan antara kisah pernikahan Kiyai Sahal dan sepupu, Gus Dur. Kalau Kiai Sahal tidak ketemu sang istri selama dua tahun, maka Gus Dur juga tidak ketemu istri selama tiga tahun semenjak akad nikah. Mereka berdua juga sama-sama sudah dipanggil oleh Allah SWT. Lahumul-Fatihah.

~ Penulis: Muchlishon Rochmat, Alumni Perguruan Islam Mathal’ul Falah Kajen Pati.

Sumber: NU Online

Contact

Talk to us

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis)

Alamat:

Jl. Tuntang, Pandean, Kec. Taman, Kota Madiun, Jawa Timur 63133

Jam Kerja:

Setiap Hari 24 Jam

Telpon:

-