Wednesday, September 15, 2021

Pengamalan Hadits Dha’if



Hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik sabdanya, perbuatannya maupun persetujuannya terhadap hal-hal yang dilakukan para sahabat (taqrir). Tidak semua hadits dapat diterima, sebab kadang dijumpai hadits-hadits palsu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, sementara beliau tidak bersabda demikian. Karenanya ulama membagi criteria kualitas hadits menjadi tiga: shohih, hasan dan dha’if.

Hadits Shohih

Hadits Hasan

Hasan Dha;if

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang adil (terpercaya), memiliki daya ingat kuat, sanadnya bersambung, tidak ada ‘illat (cacat) dan tidak syadz (bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat)

Hadits hasan punya definisi yang sama dengan hadits shohih. Namun perbedaannya terletak kepada daya ingat perawi. Jika daya ingatnya di bawah perawi shohih, maka masuk kategori hasan.

Hadits yang tidak memenuhi syarat hadits shohih dan hasan, karena:

-          Perawi tidak adil,

-          Sanad terputus,

-          Perawi pelupa,

-          Ada cacat,

-          Ada syadz.

 

Suatu hadits dikategorikan menjadi dha’if dikarenakan dua faktor, yaitu: internal, kedha’ifan pada diri perawi (seperti lemah  ingatannya, tidak diketahui perilaku dan sebagainya), atau faktor  eksternal, berupa terputusnya sanad (mata rantai para perawi yang menghubungkan hadits sampai pada Nabi SAW).

 

Sementara macam-macam hadits dha’if adalah:

Dha’if Sanad Terputus

Dha’if Perawi Tercela

1.  Mursal

1. Matruk

2. Muharraf

2.  Munqathi’

3. Munkar

4. Mubham

3.  Mu’dhal

5. Mudraj

6. Majhul

4.  Mudallas

7. Maqlub

8. Mastur

5.  Muallaq

9. Mudhtarib

10. Syadz

6.  Muallal

11. Mushahhaf

12. Mukhtalif

Hadits-hadits dha’if ini boleh diamalkan dalam masalah-masalah keutamaan, memotivasi ibadah, dan mendorong agar tidak melakukan perbuatan dosa. Ahli hadits Ibn Hajar mengutip pendapat ulama yang telah dijadikan kesepakatan, yaitu:

 وَقَدْ ثَبَتَ عَنِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ وَغَيْرِهِ الْأَئِمَّةِ أَنَّهُمْ قَالَ إِذَا رَوَيْنَا فِي الحَلاَلِ وَالْحَرَامِ شَدَّدْنَا وَ إِذَا رَوَيْنَا فِي الْفَضَائِلِ وَنَحْوِهَا تَسَاهَلْنَا...وَيُحْكَى عَن عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَهْدِى أَنَّهُ قَالَ: اِذَا رَوَيْنَا فِي الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ وَفَضَائِلِ الْاَعْمَالِ تَسَاهَلْنَا فِي الْاَسَانِيْدِ وَتَسَامَحْنَا فِى الرِّجَالِ وَ اِذَا رَوَيْنَا فِي الحَلاَلِ وَالْحَرَامِ وَالْاَحْكَامِ تَشَدَّدْنَا فِى الْاَسَانِيْدِ وَانْتَقَدْنَا فِى الرِّجَالِ.

“Imam Achmad dan Imam yang lain (seperti Ibn Mubarak) berkata: “Jika meriwayatkan hadits tentang halal-haram (hukum), maka kami sangat selektif (dalam hal sanad), dan jika meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan keutamaan-keutamaan, maka kami tidak begitu selektif (tetapi tidak sampai pada taraf hadits palsu).” [Ibn Hajar, al-Qaul Musaddad, I/11, Dalail an-Nubuwwah, I/34]

 

Namun beberapa syarat harus terpenuhi dalam mengamalkan hadits dha’if:

 وَشَرْطُ جَوَازِ الْعَمَلِ بِهِ: أَنْ لَا يَشْتَدَّ ضُعْفُهُ... وَأَنْ يَكُوْنَ دَاخِلاً تَحْتَ أَصْلٍ كُلِّيٍ...

“1. Bukan hadits yang sangat dha’if, 2. Memiliki kesesuaian dengan dalil yang lain (tidak bertentangan dengan dalil lain).” [Syaikh Ibn Daqiq al-'Id, Syarh al-Arbain an-Nawawi, I/4]

 

Ulama lain menambahkan syarat lain: 3. Terkait keutamaan ibadah (bukan masalah hukum). 4. Dilakukan dalam rangka ihtiyath (berhati-hati). Jika semua syarat terpenuhi maka boleh mengamalkan hadits dha’if.

Contact

Talk to us

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis)

Alamat:

Jl. Tuntang, Pandean, Kec. Taman, Kota Madiun, Jawa Timur 63133

Jam Kerja:

Setiap Hari 24 Jam

Telpon:

-