Hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik sabdanya, perbuatannya maupun persetujuannya terhadap hal-hal yang dilakukan para sahabat (taqrir). Tidak semua hadits dapat diterima, sebab kadang dijumpai hadits-hadits palsu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, sementara beliau tidak bersabda demikian. Karenanya ulama membagi criteria kualitas hadits menjadi tiga: shohih, hasan dan dha’if.
Hadits Shohih |
Hadits Hasan |
Hasan Dha;if |
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang adil (terpercaya), memiliki daya ingat kuat, sanadnya bersambung, tidak ada ‘illat (cacat) dan tidak syadz (bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat) |
Hadits hasan punya definisi yang sama dengan hadits shohih. Namun perbedaannya terletak kepada daya ingat perawi. Jika daya ingatnya di bawah perawi shohih, maka masuk kategori hasan. |
Hadits yang tidak memenuhi syarat hadits shohih dan hasan, karena: - Perawi tidak adil, - Sanad terputus, - Perawi pelupa, - Ada cacat, - Ada syadz. |
Suatu hadits dikategorikan menjadi dha’if dikarenakan dua faktor, yaitu: internal, kedha’ifan pada diri perawi (seperti lemah ingatannya, tidak diketahui perilaku dan sebagainya), atau faktor eksternal, berupa terputusnya sanad (mata rantai para perawi yang menghubungkan hadits sampai pada Nabi SAW).
Sementara macam-macam hadits dha’if adalah:
Dha’if Sanad Terputus |
Dha’if Perawi Tercela |
|
1. Mursal |
1. Matruk |
2. Muharraf |
2. Munqathi’ |
3. Munkar |
4. Mubham |
3. Mu’dhal |
5. Mudraj |
6. Majhul |
4. Mudallas |
7. Maqlub |
8. Mastur |
5. Muallaq |
9. Mudhtarib |
10. Syadz |
6. Muallal |
11. Mushahhaf |
12. Mukhtalif |
Hadits-hadits dha’if ini boleh diamalkan dalam masalah-masalah keutamaan, memotivasi ibadah, dan mendorong agar tidak melakukan perbuatan dosa. Ahli hadits Ibn Hajar mengutip pendapat ulama yang telah dijadikan kesepakatan, yaitu:
“Imam Achmad dan Imam yang lain (seperti Ibn Mubarak) berkata: “Jika meriwayatkan hadits tentang halal-haram (hukum), maka kami sangat selektif (dalam hal sanad), dan jika meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan keutamaan-keutamaan, maka kami tidak begitu selektif (tetapi tidak sampai pada taraf hadits palsu).” [Ibn Hajar, al-Qaul Musaddad, I/11, Dalail an-Nubuwwah, I/34]
Namun beberapa syarat harus terpenuhi dalam mengamalkan hadits dha’if:
“1. Bukan hadits yang sangat dha’if, 2. Memiliki kesesuaian dengan dalil yang lain (tidak bertentangan dengan dalil lain).” [Syaikh Ibn Daqiq al-'Id, Syarh al-Arbain an-Nawawi, I/4]