Pemuka para hafizh, Imam Achmad bin Hajar Al-Asqolani, memaparkan satu dasar yang valid dari Sunnah, yaitu dinyatakan dalam Ash-Shohihain bahwasanya Nabi SAW tiba di Madinah dan menjumpai kaum Yahudi sedang berpuasa hari Asyura.
Saat ditanya, jawab mereka, "Itu adalah hari dimana Allah tenggelamkan Fir'aun dan selamatkan Musa. Maka kami berpuasa pada hari Asyuro sebagai wujud syukur kepada Allah SWT."
Imam Al-Asqolani mengatakan, "Dari hadits ini dapat disimpulkan adanya bentuk syukur kepada Allah atas nikmat yang telah dianugerahkan atau malapetaka yang telah dihindarkan pada hari tertentu. Wujud syukur itu terulang kembali pada hari yang sama di setiap tahunnya. Syukur kepada Allah dapat diwujudkan dalam berbagai macam bentuk ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, dan bacaan Al-Qur'an. Adakah nikmat yang lebih besar dari kelahiran Nabi yang merupakan Nabi penuh Rahmat ini?!"
Demikian yang dijelaskannya secara ringkas. Imam Suyuthi menukilnya dalam kitabnya, Al-Fatawa.
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa berkumpul untuk menyimak kisah kelahiran Nabi SAW termasuk bentuk ibadah yang paling besar, dikarenakan mengandung pengungkapan syukur kepada Allah lantaran kemunculan pengemban berbagai mukjizat SAW, dan oleh karena di dalamnya terdapat pemberian makanan serta jalinan hubungan silaturahmi, memperbanyak sholawat dan salam kepada beliau, dan bentuk ibadah lainnya. "Innamal a'maalu binniyaati (Sesungguhnya amal itu bergantung pada niat)."
Ulama kaum muslimin di setiap zaman dan tempat sepakat bahwa bid'ah, baik itu yang baik maupun yang buruk, adalah perkara yang tidak memiliki landasan dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Berbeda dengan perayaan Maulid Nabi yang mulia dan pengagungannya serta pengungkapan syiarnya, lebih-lebih pada bulan Rabiul Awwal, maka sesungguhnya perayaan ini didasarkan pada landasan yang shohih dan ketentuan yang jelas dari Al-Qur'an dan Sunnah.
Al-Qur'an al-Aziz mengungkapkan kisah kelahiran Nabi SAW dan mengagungkan kedudukannya yang disampaikan melalui Sayyidina Isa putra Maryam AS. Yaitu firman-Nya, "Dan memberi kabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Achmad (Muhammad)." [QS. Ash-Shoff: 6]
Al-Hafizh Syamsuddin Ibnu Jauzi berkata, "Telah diperlihatkan dalam impian keadaan Abu Lahab setelah kematiannya.
Abu Lahab ditanya, 'Bagaimana keadaanmu?'
Dia menjawab, 'Di neraka. Hanya saja aku diberi keringanan pada setiap malam Senin. Aku menghirup air di antara dua jarinya sebanyak ini (dia memberi isyarat dengan ujung jarinya). Itu lantaran aku memerdekakan Tsuwaibah ketika dia memberi kabar gembira kepadaku tentang kelahiran Nabi SAW dan dia menyusui beliau.'
Jika Abu Lahab yang kafir dan diturunkan Al-Qur'an terkait kecaman terhadapnya di neraka mendapat balasan lantaran kegembiraannya terhadap kelahiran Nabi SAW, maka bagaimana dengan seorang muslim yang mengesakan Allah dari ummat Nabi SAW yang bergembira dengan kelahiran beliau dan mengeluarkan apa yang dimampuinya untuk sampai kepada beliau lantaran kecintaan kepada beliau SAW?!
Demi umurku, sesungguhnya balasannya dari Allah Yang Maha Mulia, yaitu memasukkannya karena anugerah-Nya ke dalam surga yang dipenuhi dengan berbagai kenikmatan."
Demikian yang disebutkan oleh Imam Nabhani dalam Al-Anwar al-Muhammadiyyah.
Terkait kejadian ini, seorang ulama Al-Hafizh Syamsuddin Muhammad bin Nashiruddin Ad-Dimasyqi menyampaikan syairnya:
"Jika orang kafir ini diturunkan sangsi terhadapnya,
dan ia menuai kesengsaraan di neraka untuk selamanya.
Bahwasanya pada setiap hari Senin senantiasa datang kepadanya
keringanan baginya lantaran gembira terhadap (kelahiran) Achmad.
Lantas bagaimana seorang hamba yang sepanjang hidupnya,
bergembira terhadap Achmad dan mati dengan mengesakan Tuhannya."