Semenjak kedatangan Belanda yang bertujuan menguasai Indonesia, ulama dan pemimpin Islam selalu berada di garda depan menentang dan melakukan perlawanan. Seperti halnya perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro di Jawa, perlawanan Sultan Hasanuddin di Sulawesi, perlawanan Teuku Umar di Sumatera Utara, perlawanan oleh Pangeran Hidayat di Banjarmasin, dan perlawanan yang dipelopori oleh para ulama di daerah-daerah lain.
Para ulama sadar, perlawanan terhadap Belanda tidak akan menghasilkan hasil yang maksimal jika hanya dilakukan dengan perlawanan secara fisik, sebab peralatan perang kalah canggih dan sering Belanda berhasil memecah-belah kekuatan pejuang dengan cara licik, maka ulama berusaha menjalankan taktik baru, yakni dengan memusatkan terhadap pendidikan kader pejuang tangguh dan teguh pendirian supaya tidak mau diajak kerjasama oleh Belanda. Selain itu, ulama pemimpin perjuangan menyadari, bahwa metode perlawanan kepada penjajah dari perang fisik dan tidak terorganisir harus diubah dengan gerakan perlawanan melalui saluran organisasi yang teratur. Dari perubahan metode perjuangan yang dimotori ulama ini, muncul organisasi-organisasi perjuangan seperti Budi Utomo, Syarikat Islam, dan lain-lain.
Sebelum NU lahir, KH. Abdul Wahab Hasbullah bersama KH. Mas Manshur merintis organisasi pendidikan bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1914 M. pada tahun 1918 M, KH. Abdul Wahab Hasbullah bersama dengan KH. Ahmad Dahlan dari Kebondalem Surabaya mendirikan Tasywirul Afkar (potret pemikiran). Adapun Nahdlatul Wathan lebih banyak bergerak di bidang pendidikan Islam, pembentukan kader dan pembinaan mubaligh atau juru dakwah dalam rangka menumbuhkan jiwa nasionalisme sebagai upaya untuk memperkuat perjuangan melawan penjajah. Kegiatan organisasi ini berpusat di gedung yang beralamat di Kawatan Gg. IV Surabaya. Sedangkan Tasywirul Afkar (Ekspresi Pemikiran) yang lebih banyak mengadakan diskusi-diskusi keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Khususnya isu-isu seputar jihad dan taqlid yang menjadi persoalan perbedaan antara kelompok pesantren dan modernis. Anggota kelompok ini terdiri dari ulama muda. Bertempatdi Ampel Suci (wilayah Masjid Ampel Surabaya).
Selanjutnya, dalam pimpinan Nahdlatul Wathan terdapat perbedaan terkait paham keagamaan, yakni KH. Abdul Wahab Hasbullah memilih dan membela sistem bermadzhab, sedangkan Mas Manshur memilih jalur Islam modernis yang anti madzhab. Akhirnya, Mas Manshur memilih berpisah dari KH. Abdul Wahab Hasbullah dan masuk ke Muhammadiyah, lalu KH. Abdul Wahab Hasbullah menunjuk KH. Mas Alwi Abdul Aziz menjadi kepala sekolah Nahdlatul Wathan sebagai pengganti Mas Manshur.
Pasca keluarnya Mas Manshur, Kiai Wahab mengembangkan Nahdlatul Wathan ke berbagai daerah. Bersama Kiai Mas Alw, Kiai Wahab membentuk cabang-cabang baru Nahdlatul Wathan, antara lain: Akhul Wathan di Semarang, Far’ul Wathan di Gresik, Hidayatul Wathan di Jombang, Far’ul Wathan di Malang, Ahlul Wathan di Wonokromo, Khitabatul Wathan di Pacarkeling dan Hidayatul Wathan di Jagalan. Semua nama cabang mencantumkan nama Wathan. Hal ini menunjukkan bahwa madrasah memiliki misi tertentu yakni membangun semangat cinta tanah air.
Aktifitas KH. Abdul Wahab Hasbullah di ats menunjukkan semangat kebangsaan yang nantinya terwujud dalam pembentukan Nahdlatul Ulama. Keterlibatan Kiai Wahab di berbagai organisasi, di antaranyan Syarikat Islam (SI), Nahdlatul Wathan, Tasywirul Afkar dan selainnya, ini tidak lepas kerangkan tujuan utama membangun semangat kebangsaan.
Hal di atas ditegaskan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah saat menjawab pertanyaan KH. Abdul Halim setelah undangan pertemuan ulama untuk membicarakan delegasi Komite Hijaz diedarkan. KH. Abdul Halim menanyakan kepada KH. Abdul Wahab Hasbullah mengenai rencana pembentuk organisasi ulama ini: “Apakah rencana pembentuk organisasi ulama itu mengandung tujuan untuk menuntut kemerdekaan?” Kiai Wahab menjawab: “Tentu, itu syarat nomor satu, ummat Islam menuju ke jalan itu. Ummat Islam tidak leluasa sebelum negara kita merdeka.” Lalu Kiai Abdul Halim melanjutkan pertanyaan: “Apakah usaha macam begini ini bisa menuntut kemerdekaan?” “Ini bisa menghancurkan bangunan perang. Kita jangan putus asa. Kita harus yakin tercapai negeri merdeka”, tegas Kiai Wahab.
Walhasil, kelahiran NU selain karena faktor mempertahankan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, juga dilatarbelakangi semangat kebangsaan para ulama untuk merebut kemerdekaan bangsa dari penindasan penjajah.