Nahdlatul Ulama Kota Madiun

sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Kehadiran NU merupakan salah satu upaya melembagakan wawasan tradisi keagamaan yang dianut jauh sebelumnya, yakni paham Ahlussunnah wal Jamaah

Youtube

Profil

Sejarah

Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Kehadiran NU merupakan salah satu upaya melembagakan wawasan tradisi keagamaan yang dianut jauh sebelumnya, yakni paham Ahlussunnah wal Jamaah.

Read More

Visi Misi

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Read More

Pengurus

Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Madiun terdiri dari 3 unsur kepengurusan, Mustasyar (Penasihat), Syuriyah (Pimpinan tertinggi), dan Tanfidziyah (Pelaksana Harian).

Read More

MWC

MWC (Majelis Wakil Cabang) merupakan kepengurusan di tingkat kecamatan, terdiri dari MWC NU Manguharjo, MWC NU Kartoharjo, dan MWC NU Taman.

Read More

Warta

Thursday, March 31, 2022

PUASA UMMAT TERDAHULU DAN MOTIVASINYA BAGI UMMAT MUSLIM

PUASA UMMAT TERDAHULU DAN MOTIVASINYA BAGI UMMAT MUSLIM

Allah SWT berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” [QS. Al-Baqarah: 183]

 


Ayat di atas menjelaskan bahwa kewajiban puasa yang diberikan kepada ummat Islam telah diberikan juga kepada ummat-ummat sebelumnya. Beberapa kitab tafsir memaparkan tiga poin utama mengenai ayat ini: Pertama, ummat-ummat terdahulu, terutama kaum Yahudi dan Nasrani, telah berpuasa. Kedua, persamaan puasa ummat Islam dengan puasa ummat terdahulu bukan pada tata cara puasanya, namun pada inti kewajibannya. Ketiga, penyamaan kewajiban ini memiliki tujuan-tujuan tertentu.

 

Penjelasan masing-masing poin di atas adalah sebagai berikut:

1.       Ummat Terdahulu Juga Berpuasa

Alauddin Ali bin Muhammad al-Khazin (w. 741H) menjelaskan bahwa puasa sudah diwajibkan kepada para nabi dan ummat-ummat terdahulu sejak zaman Nabi Adam hingga era Nabi Muhammad SAW. Puasa adalah ibadah klasik sejak era manusia pertama. Semua nabi dan ummatnya memiliki kewajiban yang sama.

 

Al-Khazin menjelaskan: “Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, maksudnya adalah para nabi dan ummat-ummat sejak masa Nabi Adam hingga masa kalian. Maksudnya, puasa itu adalah ibadah lama. Artinya, pada masa awal Allah selalu memberikan kewajiban puasa kepada mereka sebagaimana hal itu diwajibkan kepada kalian.” [Tafsir al-Khazin, Jilid 1, hal. 110]

 

2.       Persamaan Terdapat pada Inti Kewajibannya

Ibnu Asyur (w. 1393 H) dalam Tafsir at-Tahrir wat Tamwir menyebutkan bahwa persamaan puasa ummat Islam dengan ummat terdahulu bukan pada tata cara berpuasa, namun pada inti kewajibannya. Menyimpulkan keterangan ulama tafsir sebelumnya, pakar tafsir kontemporer tersebut menjelaskan:

Puasa (ummat) Islam berbeda dengan puasa kaum Yahudi dan Nasrani. perbedaan tersebut terletak pada syarat-syarat dan tata caranya. Puasa kita (ummat Islam) tidaklah sama persis seperti puasa mereka. Dengan demikian, maksud makna ayat ’sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian’, bukan pada tata cara. Penyerapan itu cukup pada sebagian sisi.”

 

Penjelasan ini ditegaskan oleh Ibnu Irfah. Menurut dia, penyerupaan itu terletak pada status hukum puasa. Karakter hukum secara umum tidak berubah dan berganti. Ibnu Irfah menjelaskan:

“Ini adalah penyerupaan hukum dengan hukum. Hukum tidak berganti dan berubah. Oleh karena itu, ini adalah penyerupaan suatu kewajiban dengan kewajiban lainnya (yaitu kewajiban puasa ummat Islam dengan kewajiban puasa untuk ummat sebelumnya).”

 

Muncul pertanyaan kita, bagaimana sebenarnya perbedaan puasa ummat Islam dengan puasa ummat sebelumnya? Tidak ada penjelasan secara khusus dalam Al-Qur’an dan Sunnah mengenai tata cara puasa ummat terdahulu, kecuali puasa 10 Muharram, puasa Dawud dan lainnya.

 

Selain puasa-puasa tersebut, penjelasan tentang cara puasa ummat terdahulu didapat dari kitab-kitab dan tradisi mereka, yang kemudian juga dirawikan oleh beberapa sahabat dan tabi’in. Tafsir al-Khazin memaparkan suatu keterangan di mana pendapat senada juga ditemukan dalam Tafsir al-Qurthubi, menukil penjelasan dari Sya’bi dan Qatadah. Disebutkan bahwa puasa bulan Ramadhan telah diwajibkan kepada orang-orang Nasrani, namun mereka kemudian mengubah waktu pelaksanaan dan jumlah harinya.

 

Sya’bi dan Qatadah meriwayatkan:

“Diriwayatkan bahwa puasa bulan Ramadhan dulunya diwajibkan kepada kaum Nasrani sebagaimana telah diwajibkan kepada kita (ummat Islam). Kaum Nasrani berpuasa Ramadhan dalam suatu dekada waktu. Namun rupanya bulan itu terjadi pada musim panas yang sangat di negeri yang juga panas. Hal itu membuat mereka berat untuk melaksanakannya saat dalam perjalanan dan membahayakan pekerjaan mereka. Maka para ulama dan tokoh mereka bersepakat untuk melaksanakan puasa pada suatu musim yang tidak ekstrim, antara musim panas dan musim dingin. Akhirnya mereka menjadikan puasa itu di musim semi. Lalu mereka menambah 10 hari sebagai penebus dari perbuatan mereka ini. Total mereka berpuasa 40 hari. Setelah beberapa waktu, raja mereka mengeluhkan sakit pada mulutnya. Ia berjanji kepada Allah bila sembuh akan menambah puasanya satu minggu (7 hari). Ia diberi kesembuhan pada 7 hari itu. Kemudian raja itu meninggal dunia dan diganti oleh raja lain. Raja baru ini kemudian mengatakan, ‘Untuk apa 3 hari ini? Sempurnakanlah dengan berpuasa selama 50 hari.’ Kaum itu lalu berpuasa dengan menggenapkannya menjadi 50 hari. Menurut riwayat lain, konon mereka ditimpa dua kematian. Mereka pun menyatakan, ‘Tambahkanlah puasa kalian, 10 hari setelahnya.’ Dalam riwayat lain disebutkan bahwa sesungguhnya kaum Nasrani diberi kewajiban oleh Allah  puasa Ramadhan. Mereka puasa satu hari sebelum Ramadhan dan satu hari setengahnya. Mereka terus menambah jumlah hari tersebut hingga mencapai 50 hari. Karena itulah ummat Islam dilarang untuk berpuasa pada hari Syak.”

 

Rangkaian penjelasan tersebut menegaskan bahwa tata cara puasa ummat terdahulu itu berbeda dengan puasa ummat Islam saat ini. Dengan kata-kata lain, persamaan tadi terletak pada inti kewajiban, bukan pada tata caranya.

 

3.       Tujuan Penyamaan Kewajiban Puasa

Menurut Ibnu Asyur, setidaknya penyamaan antara puasa ummat Islam dengan puasa ummat terdahulu memiliki tiga tujuan. Pertama, agar ummat Islam memiliki perhatian besar terhadap ibadah puasa ini. Allah telah mensyariatkan puasa kepada ummat sebelum Islam, lalu kepada ummat Islam. Allah mensyariatkan suatu ibadah kepada manusia sepanjang dekade dan sejarahnya, dan ini menunjukkan kemaslahatan dan pahala besar dari ibadah itu. Selebihnya, ummat Islam harus lebih bersemangat menjalankan puasa Ramadhan agar memiliki keistimewaan lebih dibandingkan ummat lainnya.

 

Karakter ummat Islam adalah saling berlomba-lomba dalam kebaikan. Hal ini dijelaskan dalam hadits bahwa sekelompok orang datang menemui Rasulullah SAW. Mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah, orang kaya memiliki banyak pahala. Mereka melaksanakan shalat seperti kami dan berpuasa seperti kami. Namun mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.”

 

Pada intinya, sekelompok orang tersebut merasa iri dengan orang-orang kaya. Bukan iri pada kekayaannya yang bersifat duniawi, namun pada kelebihan kuantitas ibadah mereka, yakni bersedekah. Nabi lalu memberikan jawaban yang melegakan hati mereka. Disebutkan dalam hadits:

Bukanlah Allah telah menjadikan bagi kalian jalan untuk bersedekah? Sesungguhnya setiap tasbih (ucapan ‘Subhanallah’) merupakan sedekah, setiap takbir (ucapan ‘Allahu Akbar’) merupakan sedekah, setiap tahmid (ucapan ‘Alhamdulillah’) merupakan sedekah, setiap tahlil (ucapan ‘Laa ilaaha illallah’) merupakan sedekah, amar ma’ruf nahi munkar merupakan sedekah dan pada kemaluan kalian (maksudnya melakukan jima’ dengan istri) merupakan sedekah.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah apakah salah seorang di antara kami menyalurkan syahwatnya akan mendapatkan pahala?” Nabi bersabda: “Bagaimana pendapat kalian seandainya dia menyalurkannya di jalan yang haram, bukankah baginya dosa?’ Demikianlah halnya jika dia menyalurkannya pada jalan yang halal, maka dia mendapatkan pahala.”

 

Kecemburuan terhadap ibadah orang yang lain disebut ghibthah merupakan ciri ummat Islam. Mereka senantiasa berusaha untuk berlomba-lomba dalam kebaikan sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT yang artinya:

Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” [QS. Al-Muthaffifin: 26]

 

Kedua, memberikan kesan ringan bagi mukallaf untuk menjalankan ibadah puasa. Meniru apa yang dilakukan orang lain merupakan keteladanan pula untuk menanggung beban yang sama. Penjelasan senada juga disampaikan Ibnu Khazin (1/110):

“Hal itu karena puasa merupakan ibadah berat. Namun sesuatu yang berat jika dilakukan oleh banyak orang maka melaksanakannya menjadi mudah.”

 

Kenyataan ini menjadi bantahan bagi orang musyrik yang mengingkari kewajiban orang Islam untuk berpuasa dengan dalih hal itu merupakan suatu beban. Fakta ini juga menjadi motivasi tersendiri bagi orang yang baru memeluk Islam dan merasa berat menjalankan puasa. Semangat ini ditegaskan dalam ayat Al-Qur’an bahwa puasa dilakukan pada hari-hari tertentu saja, tidak sepanjang tahun (ayyaman ma’dudat).

 

Ketiga, membangkitkan semangat untuk menjalankan kewajiban sehingga tidak teledor dan meninggalkannya. Sebaliknya, ummat Islam menerima kewajiban ini dengan semangat dan motivasi penuh melebihi ummat-ummat sebelumnya.

 

Penjelasannya Ibnu Asyur tersebut diamini sebelumnya oleh Ibnu Irfah. Pakar tafsir ini menjelaskan:

“Penyerupaan ini meski kembali kepada hukum, namun merupakan penghibur bagi kita. Informasi tetang kewajiban puasa kepada ummat terdahulu meniscayakan ringannya ibadah tersebut dan penerimaannya bagi ummat Islam. Apabila penyerupaan tersebut kepada pahala, maka itu adalah pembandingan nikmat dengan nikmat. Artinya, Allah memberikan kalian nikmat dengan puasa yang mendatangkan pahala di akhirat sebagaimana telah diberikan kepada ummat terdahulu, namun pahala kalian (ummat Islam) lebih besar.”

 

Akhirul kalam, Ramadhan dengan segala keagungan dan keutamaannya adalah anugerah agung dari Allah kepada manusia, terutama ummat Islam. Ibnu Rajab al-Hambali menjelaskan keutamaan puasa ini dengan bahasa yang indah:

“Puasa dapat menghindarkan pelakunya dari perbuatan maksiat di dunia. Bila di dunia dia memiliki penghalang untuk melakukan perbuatan maksiat, yaitu dengan berpuasa, maka di akhirat nanti dia akan memiliki penghalang dari neraka. Namun sebaliknya, bila di dunia dia tidak memiliki penghalang untuk melakukan perbuatan maksiat, maka dia tidak akan memiliki penghalang dari neraka di akhirat nanti.”

Wallahu a’lam

MENYAMBUT BULAN SUCI RAMADHAN

MENYAMBUT BULAN SUCI RAMADHAN

Sering berjalannya waktu, tanpa terasa kita telah melewati bulan mulia yang dinamakan Syahrullah (Rajab). Saat ini kita telah berada di ujung bulan yang begitu dicintai Rasulullah yaitu Sya’ban. Tidak lama lagi kita akan memasuki bulan suci Ramadhan yang memiliki berbagai macam keutamaan.



 

Rasulullah SAW bersabda, “Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan ummatku.”

 

Di dalam bulan Rajab kita dianjurkan untuk memperbanyak istighfar dan memohon ampun kepada Allah. Oleh karena itulah maka Rasulullah menisbatkan bulan ini menjadi Syahrullah (bulan milik Allah SWT). Kemudian beliau menerangkan bahwa bulan Sya’ban adalah bulan milik beliau dan oleh karena itu kita dianjurkan untuk memperbanyak shalawat kepada Nabi SAW. Adapun Ramadhan adalah bulan milik ummat Muhammad SAW, karena di dalamnya terdapat satu malam yang lebih utama dibandingkan seribu bulan. Itulah yang menjadikan bulan ini begitu berharga bagi ummat Islam.

 

Ketika kita mendapat kunjungan dari tamu mulia, pasti kita akan menyiapkan berbagai macam penyambutan yang membuat tamu kita merasa puas dan senang. Begitu juga sepatutnya sikap kita ketika menyambut kedatangan bulan Ramadhan yang tak lama lagi akan segera tiba. Ketika seorang tamu agung akan datang ke rumah kita, pasti langkah awal yang akan kita lakukan adalah membersihkan seluruh sudut di lingkungan rumah kita. Istighfar merupakan bentuk sterilisasi atau pembersihan atas segala dosa yang ada pada diri kita.

 

Setelah lingkungan rumah kita bersihkan dengan tuntas, tugas kita berikutnya adalah menghiasi rumah tadi agar tampak menarik dan indah. Begitu juga shalawat-shalawat yang banyak kita lafalkan di bulan Sya’ban. Untaian shalawat dan salam di bulan ini adalah ibarat hiasan yang memperoleh lingkungan yang sudah kita bersihkan. Semakin banyak kita membaca shalawat, maka jiwa kita akan semakin tampak indah.

 

Dengan melakukan dua hal ini secara sempurna, kita telah benar-benar siap untuk menyambut tamu yang begitu mulia, yakni bulan Ramadhan. Agar tamu kita tidak kecewa dan benar-benar puas dengan sambutan yang ktia sajikan, tentu kita juga harus senantiasa menjaga sikap dan ucapan kita selama menjamu tamu ini. Demikian pula seharusnya sikap kita selama menjalani bulan Ramadhan nanti.

 

Ramadhan adalah bulan yang begitu mulia. Dari sekian banyak bulan yang ada, hanya Ramadhan saja yang Allah SWT sebutkan secara gambling di dalam kitab suci-Nya. Allah SWT berfirman:

“(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [QS. Al-Baqarah: 185]

 

Di bulan Ramadhan Allah SWT menurunkan Al-Qur’an yang berisi petunjuk dan aturan bagi manusia sehingga bulan ini juga dikenal sebagai Syahrul Qur’an (Bulan Al-Qur’an). Oleh karena itu, mari kita perbanyak bacaan Al-Qur’an di bulan ini, karena orang-orang yang membaca Al-Qur’an di bulan ini adalah orang-orang yang dirindukan surga.

 

Begitu besar perhatian para salafunas sholeh terhadap bacaan Al-Qur’an, terlebih kita memasuki bulan suci Ramadhan. Mereka mengumpulkan anak-anak mereka dan mengajak mereka untuk bersama-sama membaca Al-Qur’an dan menerangkan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya agar mereka menjadi generasi-generasi Qur’ani. Alangkah jauh berbeda dengan kebanyakan generasi sekarang yang kebanyakan justru meninggalkan bacaan Al-Qur’an. Mereka menghabiskan waktu-waktu mereka untuk menikmati hiburan-hiburan, baik secara langsung atau melalui bermacam media masa. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika akhlak dan mental mereka sangat berseberangan dengan Al-Qur’an.

 

Selain apa yang sudah disebutkan di atas, Allah SWT juga berjanji melipat gandakan pahala amal sholeh di bulan ini. Amalan sunnah yang biasanya kita lakukan di luar Ramadhan, pada bulan ini diganjar dengan pahala ibadah fardhu. Sedangkan ibadah fardhu akan mendapat pahala tujuh kali lipat.

 

Pada sebuah khutbahnya menjelang bulan Ramadhan, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mengamalkan sebuah amalan sunnah di bulan Ramadhan maka dia mendapatkan pahala orang yang mengerjakan pekerjaan fardhu di selainnya. Dan barangsiapa mengerjakan pahala fardhu di bulan ini maka pahalanya seperti orang yang mengerjakan amalan itu tujuh puluh kali.”

 

Oleh karena itu, mari kita koreksi dengan seksama seluruh persiapan untuk menghadapi bulan mulia ini. Mari kita perhatikan dengan sungguh-sungguh amalan kita di bulan Ramadhan ini, dengan harapan agar pahala yang kita dapatkan menjadi berlipat gandA dan dapat menutup deficit amal kita yang selalu saja kalah dibanding banyaknya dosa-dosa yang kita lakukan. Ketika kita keluar dari bulan Ramadhan nanti, kita akan benar-benar menjadi orang yang kembali fitri, bersih dari segala dosa, dan berlimpah dengan pahala. Dengan demikian, maka hari itu akan benar-benar patut dirayakan sebagai kemenangan.

 

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Saturday, March 19, 2022

Napak Tilas Kiprah KH Hasyim Muzadi

Napak Tilas Kiprah KH Hasyim Muzadi

Kiai Haji Ahmad Hasyim Muzadi ialah seorang pemikir muslim kenamaan di Indonesia yang juga mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1999-2010). Sejak Januari 2015, ia juga diangkat sebagai Dewan Pertimbangan Presiden, yang pada waktu itu diketuai oleh Sri Adiningsih. Kiai Hasyim lahir di Tuban, Jawa Timur, 8 Agustus 1943. Putra dari H. Muzadi dan Hj. Rumyati ini, nampaknya terlahir dengan semangat belajar dan berorganisasi yang tinggi. Semangat inilah yang kemudian menghantarkannya ke dalam posisi-posisi strategis perpolitikan nasional, serta membawa Kiai Hasyim pada pucuk pimpinan ormas Islam terbesar di Indonesia.



Sebagai seorang ulama, Kiai Hasyim dikenal sebagai sosok yang kharismatik. Pendiri sekaligus pengasuh pesantren Al-Hikam ini, dikenal memiliki wawasan keumatan dan kebangsaan yang moderat. Menurutnya, Islam jangan bergeser terlalu kiri maupun terlalu kanan. Artinya –dalam konteks kebangsaan (keindonesiaan)– Islam harus berdiri di tengah antara ekstrimitas dan liberalitas. Syariat Islam harus mampu menyublimasi (baca: mengisi) kehidupan Indonesia yang plural. 


Nilai-nilai keislaman mesti dihadirkan melalui pendekatan sosial-kultular, ketimbang pendekatan formal-prosedural. Tatkala ada kasus pencurian, maka mengentaskan kemiskinan (hulu masalah) lebih urgent dari pada membuat undang-undang untuk memotong tangan si pencuri. Contoh lain, misalnya ia berpendapat bahwa dalam kasus terorisme dibutuhkan upaya yang sistematis dan simultan. Oleh karena pangkal dari terorisme itu adalah pola pikir yang keliru, maka diperlukan upaya prepentif melalui peran tokoh agama untuk mengurai kebekuan pikir (teologi) tersebut. Mengisi surau-surau atau madrasah-madrasah di tiap tempat dengan pemahaman agama yang moderat dan kearifan lokal adalah strategi implementatif yang mesti segera dilakukan.


Ulama yang mendunia

Tak hanya di tingkat nasional, intelektual lulusan Pesantren Modern Gontor ini, kiprahnya juga diakui di kancah global. Kiai Hasyim merupakan salah satu tokoh intelektual muslim yang pemikiran-pemikirannya diperhitungkan, terutama soal resolusi konflik dan perdamaian dunia. Pada tahun 2006, ia terpilih menjadi salah satu dari 9 presiden pada Konferensi Dunia Agama untuk Perdamaian (Word Conference on Religion for Peace/ WCRP), bersama Din Syamsuddin. Selain menjadi bagian WCRP, Kiai Hasyim juga aktif pada forum International Conference of Islamic Scholar (ICIS). Program-program yang ditawarkan ICIS juga tak beda jauh dengan program yang ada di WCRP. Yakni, rekonsiliasi konflik di Irak, Afganistan, dan Thailand Selatan, memediasi peperangan antar suku di Sierra Lione, serta program kemanusiaan lainnya di wilayah Afrika.


Dalam upaya resolusi konflik, Kiai Hasyim menandaskan bahwa upaya komunikasi intensif antar negara niscaya dilakukan. Kebiasaan dialog harus dibangun, ketimbang membuat keputusan yang terkesan terburu-buru. Pendekatan pendidikan, kultural, dan social problem solving merupakan solusi yang disuguhkan Kiai Hasyim untuk menghentikan kekerasan.


Arus balik Kiai Hasyim

Semenjak 2010, suami Hj Muthomimah ini nampaknya lebih berfokus pada isu-isu moral dan spiritual. Di mana sebelumnya, ia telah mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk hal-hal praktis-strategis, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Ia kemudian lebih disibukan menjadi seorang penceramah, dari satu majelis ke majelis lainnya.


Pembawaan yang tenang, penyampaian yang runut, dan sesekali diselipkan guyonan didaktis menjadi ciri khas Kiai Hasyim. Dengan kelapangan ilmu dan kedalaman hikmah, tak heran jika isi ceramah Kiai Hasyim selalu memikat pendengarnya. Kesantunan dan kemampuannya dalam merangkul setiap golongan menjadi ciri bahwa Kiai Hasyim lebih mementingkan cinta agama, dari pada emosional keagamaan.


Begitu banyak pesan moral yang diwariskan Kiai Hasyim. Di antaranya adalah intelektualitas akan goncang ketika ada goncangan pada hati seseorang. Sehingga iqra sebagai metodologi, harus sampai pada bismirobbika, sebagai teologisasi dari pengetahuan tersebut. Pendeknya, ilmu tersebut akan bermanfaat, dapat diamalkan dan dipertanggungjawabkan bukan sebab ilmiah tapi semata-mata hidayah dari Allah SWT.


Hari Kamis pagi, tepatnya tanggal 16 Maret 2017, sekitar pukul 06.00 WIB, salah satu putra terbaik bangsa ini meninggalkan alam pana untuk selama-lamanya. Bangsa Indonesia kehilangan “orang tua” nan bijaksana yang telah selesai dengan diri dan golongannya. Pulang meninggalkan Bintang Mahaputera Adipradana, kembali pada-Nya dengan hati yang tenang.

Sumber : https://jabar.nu.or.id/tokoh/napak-tilas-kiprah-kh-hasyim-muzadi-lTMN4


Wednesday, March 9, 2022

Keutamaan Malam Nisfu Sya’ban

Keutamaan Malam Nisfu Sya’ban

Allah SWT telah memberikan keistimewaan pada hari-hari tertentu dan tempat-tempat tertentu. Keistimewaan itu adalah berupa ampunan dosa dan pahala ibadah yang lebih besar dibanding hari-hari atau waktu-waktu biasanya. Misal saja, beribadah di Bulan Ramadhan lebih besar pahalanya dibanding bulan-bulan biasanya. Shalat di Masjidil Haram juga demikian, lebih besar pahalanya dibanding shalat di masjid biasa.



Di antara keistimewaan itu adalah malam pertengahan bulan Sya’ban atau biasa orang menyebutnya malam Nishfu Sya’ban. Malam yang bertepatan dengan tanggal 15 Sya’ban.



Seorang ulama bernama Syekh Abdullah Muhammad al-Ghimari menuliskan sebuah risalah yang menjelaskan keutamaan-keutamaan malam tersebut. Risalah itu beliau namai dengan judul Husnul Bayan fi Lailatin Nishfi min Sya’ban.


Alasan beliau menulis risalah ini adalah, karena setiap tahun banyak masyarakat yang menanyakan amalan serta doa-doa malam Nisfu Sya’ban kepada beliau. Mulanya beliau hanya menjawab dengan lisan atau menuliskan di beberapa majalah Islam. Begitu menyadari pertanyaan itu akan dialaminya setiap tahun, Syekh Abdullah memutuskan untuk menuliskannya dalam risalah kecil setebal 42 halaman.



Risalah ini beliau tulis dengan ringkas. Meski demikian, menurut beliau, pembahasannya padat, tidak bertele dan memiliki banyak faedah.



Risalah ini disarikan dari beberapa kitab-kitab besar terkait. Seperti kitab Al-Idhah karya Ibnu Hajar al-Haitami, kitab Ma Ja’a fi Syahri Sya’ban karya Al-Hafidz Abu al-Khatib Dihyah al-Andalusi dan Fi Lailatin Nishfi karya Al-Ajhuri (seorang Syekh bermadhab maliki).


Menurut Syekh Abdullah, keutamaan malam Nisfu Sya’ban ini sudah populer sejak dulu. Saat malam itu tiba, orang-orang akan menghidupkan malam dengan beribadah, memanjatkan doa dan membaca dzikir-dzikir.



Meski begitu, menurut Syekh Abdullah, para ulama berbeda pendapat soal bagaimana prosedur yang tepat untuk menghidupkan malam mulia itu. Apakah bisa dilakukan dengan bersama-sama (berjama’ah) atau harus sendiri-sendiri? Apakah menambahkan ibadah di dalamnya termasuk bid’ah atau tidak? Semuanya memiliki argumen masing-masing.



Melihat realita itu, Syekh Abdullah memilih pendapat yang tidak memberatkan. Mungkin, hemat penulis, Syekh Abdullah tidak ingin memberatkan masyarakat yang sudah mendarah daging melakukan amalan-amalan malam Nisfu Sya’ban. Sehingga beliau memilih pendapat yang tidak mengusik masyarakat. Beliau memilih untuk tidak membid’ahkan.



Meskipun dalil-dalil tentang amalam malam Nisfu Sya’ban itu berupa hadis dha’if, atau bahkan mungqathi’, itu sudah dianggap cukup karena amalan malam Nisfu Sya’ban merupakan dari fadha’ilul a’mal (bentuk amal ibadah yang dianjurkan sebagai pendorong untuk mendekatkan diri kepada Allah swt).


Belum lagi dasar amalan malam Nisfu Sya’ban terdapat dalam hadis yang tercatat dalam Sahih Muslim. Tentu, menurut Syekh Abdullah, ini lebih menguatkan kebasahan amalan malam Nisfu Sya’ban itu. Hadis itu diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra berikut,



وعن جابر - رضي الله عنه - قَالَ: سَمِعْتُ رسولَ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - يقول: «إنَّ في اللَّيْلِ لَسَاعَةً، لاَ يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْألُ الله تَعَالَى خَيْرًا مِنْ أمْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، إِلاَّ أعْطَاهُ إيَّاهُ، وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ». رواه مسلم.



Dari Jabir ra. berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya pada malam hari itu ada satu waktu yang tidaklah seorang muslim tepat pada waktu itu meminta kepada Allah kebaikan perkara dunia dan akhirat, melainkan Allah pasti memberikannnya kepadanya. Dan waktu itu ada pada setiap malam.” (HR Muslim)



Melihat keumuman hadis ini, malam Nisfu Sya’ban masuk dalam kategori malam yang memiliki keistimewaan sebagaimana dimaksudkan dalam hadis. Sehingga wajar jika pada malam itu dianjurkan memperbanyak ibadah agar bisa meraih sesuatu yang dijanjikan: memperoleh doa yang pasti dikabulkan.


Sejarah Praktik Peringatan Malam Nisfu Sya’ban


Mengawali pembahasannya, Syekh Abdullah menjelaskan tentang sejarah peringatan malam Nisfu Sya’ban dan menjelaskan pula mengapa bisa terjadi perbedaan pendapat ulama: ada yang membenarkan dan mempraktikannya, ada pula yang membid’ahkannya.



Pertama kali yang memperingati malam Nishfu Sya’ban adalah dari kalangan Tabi’in penduduk negeri Syam, seperti Kholid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin ‘Amir dan lain-lain. Mereka mengagungkan malam itu dan memperbanyak ibadah di dalamnya. Hingga kemudian tersiar kabar bahwa yang mereka lakukan itu bersumber dari atsar isra’iliyat (perkataan sahabat yang sebenarnya adalah buatan orang Yahudi -pen).



Setelah itu, ada dua kubu yang menyikapi peringatan malam Nisfu Sya’ban. Sebagian mengikuti apa yang dilakukan para tabi’in negeri Syam. Mereka adalah orang-orang Bashrah dan yang lainnya. Sementara ulama penduduk Hijaz menentangnya dan menganggap sebagai praktik bid’ah. Di antara penduduk Hijaz itu adalah Imam ‘Atha, Ibu Abi Malikah dan para fuqaha dari kota Madinah.



Bentuk Praktik Ibadah Malam Nisfu Sya’ban


Para ulama negeri Syam berbeda pendapat soal bagaimana cara menghidupkan malam Nisfu Sya’ban. Sebagian dari mereka ada yang memperingatinya dengan beribadah secara berjama’ah di masjid dengan mengenakan pakaian terbaik, membakar kemenyan (untuk pengharum -pen), mengenakan sibak dan menghidupkan malam dengan beribadah di masjid tersebut. Pedapat ini didukung oleh Ishaq bin Rahaweh dan diunggulkan oleh Imam Al-Walid ra.



Sementara sebagian ulama Syam yang lain menghukumi makruh jika dilakukan berjamaah di masjid dalam bentuk membaca kisah-kisah dan berdoa. Tapi jika shalat sendiri di masjid untuk laki-laki, maka boleh. Ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Al-Auza’i, seorang imam bagi penduduk Syam saat itu.



Keutamaan Malam Nisfu Sya’ban dan Dalilnya


Selanjutnya, Syekh Abdullah melanjutkan pembahasan keutamaan malam Nisfu Sya’ban dengan menyebutkan dalil-dalil yang menjadi dasar keutamaan malam Nisfu Sya’ban tersebut, baik dalam bentuk hadis maupun atsar sahabat. Ada 10 hadis yang beliau paparkan, di antaranya adalah hadis di bawah ini:



إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا يَوْمَهَا، فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى السَّمَاء الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ، أَلَا مِنْ مُسْتَرْزِقٍ فَأَرْزُقَهُ، أَلَا مِنْ مُبْتَلَى فَأُعَافِيَهُ، أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطَّلِعَ الْفَجْرَ



Artinya: “Ketika malam Nisfu Sya’ban tiba, maka beribadahlah di malam harinya dan puasalah di siang harinya. Sebab, sungguh (rahmat) Allah turun ke langit dunia saat tenggelamnya matahari. Kemudian Ia berfirman: “Ingatlah orang yang memohon ampunan kepadaKu maka Aku ampuni, ingatlah orang yang meminta rezeki kepada–Ku maka Aku beri rezeki, ingatlah orang yang meminta kesehatan kepada–Ku maka Aku beri kesehatan, ingatlah begini, ingatlah begini, sehingga fajar tiba.”



Sementara atsar yang dikutip Syekh Abdullah adalah riwayat Nauf al-Bikali, dia berkata, “Sungguh Ali pada malam Nishfu Sya’ban beliau keluar (dari rumah) dan mengulanginya berkali-kali seraya melihat ke langit. Beliau berkata:



 إِنَّ هٰذِهِ السَّاعَةَ مَا دَعَا اللهُ أَحَدٌ إِلَّا أَجَابَهُ، وَلَا اسْتَغْفَرَهُ أَحَدٌ فِي هٰذِهِ اللَّيْلَةِ إِلَّا غَفَرَ لَهُ، مَا لَمْ يَكُنْ عَشَّارًا أَوْ سَاحِرًا أَوْ شَاعِرًا أَوْ كَاهِنًا أَوْ عَرِيفًا أَوْ شَرْطِيًّا أَوْ جَابِيًا أَوْ صَاحِبَ كُوبَةٍ أَوْ غَرْطَبَةٍ. اَللهم رَبَّ دَاوُدَ اغْفِرْ لِمَنْ دَعَاكَ فِي هٰذِهِ اللَّيْلَةِ وَلِمَنِ اسْتَغْفَرَكَ فِيهَا.



Artinya: “Sungguh saat ini tidaklah seseorang berdoa kepada Allah melainkan akan Ia kabulkan, tidaklah seseorang memohon ampunan kepada–Nya pada malam ini melainkan Ia akan mengampuninya, selama ia bukan seorang ‘asysyar (penarik pungutan liar), tukang sihir, tukang syair, tukang ramal, pengurus pemerintahan suatu daerah, tentara pilihan penguasa, penarik zakat, pemukul genderang dan tambur.”



Doa Malam Nisfu Sya’ban


Berikutnya, setelah membahas dalil keutamaan malam Nisfu Sya’ban, Syekh Abdullah menjelaskan doa yang biasa dibaca oleh masyarakat pada malam Nisfu Sya’ban. Menurutnya, membaca yasin tiga kali dengan niat khusus setiap selesai satu yasin, tidak memiliki dasar. Begitupun dengan shalat hajat yang dilakukan setelahnya dengan niat tertentu.



Syekh Abdullah hanya merekomendasikan doa yang memiliki dasar dalam al-Quran. Berikut redaksi doanya:



يَا ذَا الْمَنِّ وَلَا يُمَنُّ عَلَيْهِ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، يَا ذَا الطُّولِ وَالْإِنْعَامِ، لَا إله إِلَّا أَنْتَ ظَهْرُ اللَّاجِئِينَ، وَجَارُ الْمُسْتَجِيرِينَ، وَمَأْمَنُ الْخَائِفِينَ. اَللهم إِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِي عِنْدَكَ (فِي أُمِّ الْكِتَابِ) شَـقِـيًا أَوْ مَحْـرُومًـا أَوْ مَطْرُودًا أَوْ مُقْتَرًا عَلَيَّ فِي الرِّزْقِ، فَامْحُ اللهم بِفَضْلِكَ شَقَاوَتِي وَحِرْمَانِي وَطَرْدِي وَإِقْتَارَ رِزْقِي، وَأَثْبِتْنِي عِنْدَكَ فِي أُمِّ الْكِتَابِ سَعِيدًا مَرْزُوقًا مُوَفَّقًا لِلْخَيْرِ فإنك تقول في كتابك الذي أنزلت (يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ)



Sementara sambungan doa setelahnya adalah tambahan dari Syekh Ma’ul ‘Ainain as-Syinqithi. Berikut redaksinya:



إِلٰهِي بِالتَّجَلِّي الْأَعْظَمِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَهْرِ شَعْبَانَ الْمُكَرَّمَ الَّتِي يُفْرَقُ فِيهَا كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ وَيُبْرَمُ، أَسْأَلُكَ أَنْ تَكْشَفَ عَنَّا مِنَ الْبَلَاءِ مَا نَعْلَمُ وَمَا لَا نَعْلَمُ ، وَمَا أَنْتَ بِهِ أَعْلَمُ ، إِنَّكَ أَنْتَ الْأَعَزُّ الْأَكْرَمُ. وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ 



Selanjutnya, Syekh Abdullah membahas tentang penentuan nasib manusia yang terjadi pada malam Nisfu Sa’ban, tentang ampunan Allah yang turun, beberapa perbuatan dosa besar dan pembahasan terakhir mengenai praktik shalat yang dilakukan masyarakat saat malam Nisfu Sya’ban.



Terkait shalat khusus yang dilakukan pada malam Nisfu Sya’ban, menurut Syekh Abdullah, adalah bersumber dari hadis-hadis palsu (maudhu’) dan tidak boleh diamalkan. Di antara hadis itu adalah,



مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ثِنْتَيْ عَشَرَ رَكْعَةً يِقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ ثَلاَثِيْنَ مَرَّةً قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ شُفِّعَ فِيْ عَشَرَةٍ لَم يخرُجْ حتى يَرَى مَقعدَه من الجنةِ



Artnya: “Siapa yang shalat pada malam nishfu Sya’ban 12 raka’at, pada setiap raka’at ia membaca ‘Qul Huwallâhu Ahad’ tiga puluh kali, niscaya ia tidak akan meninggal dunia sebelum diperlihatkan surga baginya.”



Setelah penguraian semua itu, Syekh Abdullah meringkasnya di akhir risalah sepanjang tiga halaman dan ditutup dengan syair pujian untuk keluarga Nabi Muhammad saw sebanyak 23 bait.


Sumber : www.nu.or.id/amp/pustaka/husnul-bayan-risalah-keutamaan-malam-nisfu-sya-ban-6jKpe

Talqin dan Ziarah Makam Kerabat

Talqin dan Ziarah Makam Kerabat

Kedua masalah Ini dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa:



وقد ثبت أن المقبور يسأل ويمتحن وأنه بالدعاء له. فلهذا قيل: ان التلقين ينفعه فإن الميت يسمع النداء، كماثبت في الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: أنه ليسمع قرع نعالهم، وأنه قال: ما أنتم بأسمع لم أقول منهم، وأنه أمرنا بالسلام على الموتى، فقال: ما من رجل يمر بقبر الرجل كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا رد الله روحه حتى يرد عليه السلام. 

“Dijelaskan dalam riwayat shohih bahwa mayit akan ditanya dan mendapat ujian di kubur, serta dianjurkan berdoa untuknya. Sebab itu dikatakan, talqin berguna untuk mayit. Sebab mayit mendengar seruan. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits shohih bahwa Nabi bersabda: “Mayit mendengar bunyi langkah kaki mereka”. Sabda Nabi: “Kalian tidak lebih mendengar daripada mereka terhadap perkataanku.” Nabi menganjurkan mengucapkan salam kepada orang-orang mati. Nabi bersabda: “Tak seorang pun yang melewati kuburan seseorang yang ia kenal selama di dunia, lalu mengucap salam kepadanya, kecuali Allah mengembalikan ruh kepadanya hingga ia menjawab salamnya.”

Adzan Saat Mengubur Jenazah

Adzan Saat Mengubur Jenazah

Pakar biografi tokoh, Imam Khoiruddin az-Zirikili, menyebutkan ulama yang pertama kali menganjurkan adzan di kubur:

الإصابي (٥٧٧ - ٦٥٧ ه‍ - ١١٨١ - ١٢٥٨ م) علي بن الحسين الإصابي، أبو الحسن: فقيه أصولي، يماني. وهو أول من سن الاذان لمن يسد اللحد على الميت. 



“Al-Ishabi (577-657 H/ 1181-1257 M), Ali bin al-Husain al-Ishabi, Abu al-Hasan, adalah ahli fikih, ahli ushul fikih, berkebangsaan Yaman. Dia yang pertama kali menganjurkan adzan terhadap orang yang memasukkan mayit ke liang lahat.” 


Di masa berikutnya, ahli hadits al-Imam al-Hafizh al-Hamawi selama hidupnya pernah menfatwakan adzan di kubur saat pemakaman adalah sunnah. Sehingga ketika beliau wafat, ulama Damaskus mempraktikkan fatwanya:

ولما أنزل في قبره عمل المؤذنون ببدعته التي ابتد عها مدة سنوات بدمشق من افادته إياهم أن الأذان عند دفن الميت سنة وهو قول ضعيف ذهب إليه بعض المتأخرين ورده ابن حجر في العباب وغيره فأذنوا على قبره. 

“Ketika jenazah al-Hafizh al-Hamawi diturunkan ke kubur, para muadzin melakukan bid’ah yang mereka lakukan selama beberapa tahun di Damaskus, yang disampaikan oleh beliau (al-Hafidz al-Hamawi) kepada mereka, bahwa adzan ketika pemakaman adalah sunnah.’ Ini pendapat lemah yang dipilih sebagian ulama generasi akhir. Pendapat ini ditolak oleh Ibn Hajar dalam kitab al-‘Ubab dan lainnya. Karena pendapat al-Hamawi maka mereka tetap melakukan adzan di kuburnya.” [Al-Muhibbi, Khulashot al-Atsar]

Badan Otonom

Muslimat NU
Read More
GP Ansor
Read More
Fatayat NU
Read More
IPNU
Read More
IPPNU
Read More
PMII
Read More
Jatman
Read More
JQH NU
Read More
ISNU
Read More
PSNU PN
Read More

Lembaga

LP Ma'arif NU
Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama
RMINU
Rabithah Ma'ahid al-Islamiyah Nahdlatul Ulama
LBMNU
Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
LESBUMI
Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia
LAZISNU
Amil Zakat Infak dan Sedekah Nahdlatul Ulama
LTNNU
Lembaga Ta'lif Wan Nasyr Nahdlatul Ulama
LAKPESDAM
Kajian Pengembangan Sumber daya
LDNU
Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama
LPBINU
Penanggulangan Bencana Perubahan Iklim
LTMNU
Lembaga Ta'mir Masjid Nahdlatul Ulama
LKKNU
Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama
LFNU
Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama
LPBHNU
Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama
LPNU
Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama
LPPNU
Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama
LKNU
Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama
LPTNU
Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama
LTN NU
Lembaga Infokom dan Publikasi Nahdlatul Ulama
LWPNU
Wakaf dan Pertanahan Nahdlatul Ulama

Contact

Talk to us

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis)

Alamat:

Jl. Tuntang, Pandean, Kec. Taman, Kota Madiun, Jawa Timur 63133

Jam Kerja:

Setiap Hari 24 Jam

Telpon:

-