PUASA UMMAT TERDAHULU DAN MOTIVASINYA BAGI UMMAT MUSLIM
Allah SWT berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” [QS. Al-Baqarah: 183]
Ayat di atas menjelaskan bahwa kewajiban puasa yang diberikan kepada ummat Islam telah diberikan juga kepada ummat-ummat sebelumnya. Beberapa kitab tafsir memaparkan tiga poin utama mengenai ayat ini: Pertama, ummat-ummat terdahulu, terutama kaum Yahudi dan Nasrani, telah berpuasa. Kedua, persamaan puasa ummat Islam dengan puasa ummat terdahulu bukan pada tata cara puasanya, namun pada inti kewajibannya. Ketiga, penyamaan kewajiban ini memiliki tujuan-tujuan tertentu.
Penjelasan masing-masing poin di atas adalah sebagai berikut:
1.
Ummat Terdahulu Juga
Berpuasa
Alauddin Ali bin Muhammad al-Khazin (w. 741H) menjelaskan bahwa puasa sudah diwajibkan kepada para nabi dan ummat-ummat terdahulu sejak zaman Nabi Adam hingga era Nabi Muhammad SAW. Puasa adalah ibadah klasik sejak era manusia pertama. Semua nabi dan ummatnya memiliki kewajiban yang sama.
Al-Khazin menjelaskan:
“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, maksudnya adalah para
nabi dan ummat-ummat sejak masa Nabi Adam hingga masa kalian. Maksudnya, puasa
itu adalah ibadah lama. Artinya, pada masa awal Allah selalu memberikan
kewajiban puasa kepada mereka sebagaimana hal itu diwajibkan kepada kalian.”
[Tafsir al-Khazin, Jilid 1, hal. 110]
2.
Persamaan Terdapat
pada Inti Kewajibannya
Ibnu Asyur (w. 1393 H) dalam Tafsir at-Tahrir wat Tamwir menyebutkan bahwa persamaan puasa ummat Islam dengan ummat terdahulu bukan pada tata cara berpuasa, namun pada inti kewajibannya. Menyimpulkan keterangan ulama tafsir sebelumnya, pakar tafsir kontemporer tersebut menjelaskan:
“Puasa (ummat)
Islam berbeda dengan puasa kaum Yahudi dan Nasrani. perbedaan tersebut terletak
pada syarat-syarat dan tata caranya. Puasa kita (ummat Islam) tidaklah sama
persis seperti puasa mereka. Dengan demikian, maksud makna ayat ’sebagaimana
telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian’, bukan pada tata cara.
Penyerapan itu cukup pada sebagian sisi.”
Penjelasan ini ditegaskan oleh Ibnu Irfah. Menurut dia, penyerupaan itu terletak pada status hukum puasa. Karakter hukum secara umum tidak berubah dan berganti. Ibnu Irfah menjelaskan:
“Ini adalah
penyerupaan hukum dengan hukum. Hukum tidak berganti dan berubah. Oleh karena
itu, ini adalah penyerupaan suatu kewajiban dengan kewajiban lainnya (yaitu
kewajiban puasa ummat Islam dengan kewajiban puasa untuk ummat sebelumnya).”
Muncul pertanyaan kita, bagaimana sebenarnya perbedaan puasa ummat Islam dengan puasa ummat sebelumnya? Tidak ada penjelasan secara khusus dalam Al-Qur’an dan Sunnah mengenai tata cara puasa ummat terdahulu, kecuali puasa 10 Muharram, puasa Dawud dan lainnya.
Selain puasa-puasa tersebut, penjelasan tentang cara puasa ummat terdahulu didapat dari kitab-kitab dan tradisi mereka, yang kemudian juga dirawikan oleh beberapa sahabat dan tabi’in. Tafsir al-Khazin memaparkan suatu keterangan di mana pendapat senada juga ditemukan dalam Tafsir al-Qurthubi, menukil penjelasan dari Sya’bi dan Qatadah. Disebutkan bahwa puasa bulan Ramadhan telah diwajibkan kepada orang-orang Nasrani, namun mereka kemudian mengubah waktu pelaksanaan dan jumlah harinya.
Sya’bi dan Qatadah meriwayatkan:
“Diriwayatkan
bahwa puasa bulan Ramadhan dulunya diwajibkan kepada kaum Nasrani sebagaimana
telah diwajibkan kepada kita (ummat Islam). Kaum Nasrani berpuasa Ramadhan
dalam suatu dekada waktu. Namun rupanya bulan itu terjadi pada musim panas yang
sangat di negeri yang juga panas. Hal itu membuat mereka berat untuk
melaksanakannya saat dalam perjalanan dan membahayakan pekerjaan mereka. Maka
para ulama dan tokoh mereka bersepakat untuk melaksanakan puasa pada suatu
musim yang tidak ekstrim, antara musim panas dan musim dingin. Akhirnya mereka
menjadikan puasa itu di musim semi. Lalu mereka menambah 10 hari sebagai
penebus dari perbuatan mereka ini. Total mereka berpuasa 40 hari. Setelah
beberapa waktu, raja mereka mengeluhkan sakit pada mulutnya. Ia berjanji kepada
Allah bila sembuh akan menambah puasanya satu minggu (7 hari). Ia diberi
kesembuhan pada 7 hari itu. Kemudian raja itu meninggal dunia dan diganti oleh
raja lain. Raja baru ini kemudian mengatakan, ‘Untuk apa 3 hari ini?
Sempurnakanlah dengan berpuasa selama 50 hari.’ Kaum itu lalu berpuasa dengan
menggenapkannya menjadi 50 hari. Menurut riwayat lain, konon mereka ditimpa dua
kematian. Mereka pun menyatakan, ‘Tambahkanlah puasa kalian, 10 hari setelahnya.’
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa sesungguhnya kaum Nasrani diberi kewajiban
oleh Allah puasa Ramadhan. Mereka puasa
satu hari sebelum Ramadhan dan satu hari setengahnya. Mereka terus menambah
jumlah hari tersebut hingga mencapai 50 hari. Karena itulah ummat Islam
dilarang untuk berpuasa pada hari Syak.”
Rangkaian penjelasan tersebut menegaskan bahwa tata cara puasa ummat terdahulu itu berbeda dengan puasa ummat Islam saat ini. Dengan kata-kata lain, persamaan tadi terletak pada inti kewajiban, bukan pada tata caranya.
3.
Tujuan Penyamaan
Kewajiban Puasa
Menurut Ibnu Asyur, setidaknya penyamaan antara puasa ummat Islam dengan puasa ummat terdahulu memiliki tiga tujuan. Pertama, agar ummat Islam memiliki perhatian besar terhadap ibadah puasa ini. Allah telah mensyariatkan puasa kepada ummat sebelum Islam, lalu kepada ummat Islam. Allah mensyariatkan suatu ibadah kepada manusia sepanjang dekade dan sejarahnya, dan ini menunjukkan kemaslahatan dan pahala besar dari ibadah itu. Selebihnya, ummat Islam harus lebih bersemangat menjalankan puasa Ramadhan agar memiliki keistimewaan lebih dibandingkan ummat lainnya.
Karakter ummat Islam adalah saling berlomba-lomba dalam kebaikan. Hal ini dijelaskan dalam hadits bahwa sekelompok orang datang menemui Rasulullah SAW. Mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah, orang kaya memiliki banyak pahala. Mereka melaksanakan shalat seperti kami dan berpuasa seperti kami. Namun mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.”
Pada intinya, sekelompok orang tersebut merasa iri dengan orang-orang kaya. Bukan iri pada kekayaannya yang bersifat duniawi, namun pada kelebihan kuantitas ibadah mereka, yakni bersedekah. Nabi lalu memberikan jawaban yang melegakan hati mereka. Disebutkan dalam hadits:
“Bukanlah Allah
telah menjadikan bagi kalian jalan untuk bersedekah? Sesungguhnya setiap tasbih
(ucapan ‘Subhanallah’) merupakan sedekah, setiap takbir (ucapan ‘Allahu Akbar’)
merupakan sedekah, setiap tahmid (ucapan ‘Alhamdulillah’) merupakan sedekah,
setiap tahlil (ucapan ‘Laa ilaaha illallah’) merupakan sedekah, amar ma’ruf
nahi munkar merupakan sedekah dan pada kemaluan kalian (maksudnya melakukan
jima’ dengan istri) merupakan sedekah.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah
apakah salah seorang di antara kami menyalurkan syahwatnya akan mendapatkan
pahala?” Nabi bersabda: “Bagaimana pendapat kalian seandainya dia
menyalurkannya di jalan yang haram, bukankah baginya dosa?’ Demikianlah halnya
jika dia menyalurkannya pada jalan yang halal, maka dia mendapatkan pahala.”
Kecemburuan terhadap ibadah orang yang lain disebut ghibthah merupakan ciri ummat Islam. Mereka senantiasa berusaha untuk berlomba-lomba dalam kebaikan sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT yang artinya:
“Dan untuk yang
demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” [QS. Al-Muthaffifin: 26]
Kedua, memberikan kesan ringan bagi mukallaf untuk menjalankan ibadah puasa. Meniru apa yang dilakukan orang lain merupakan keteladanan pula untuk menanggung beban yang sama. Penjelasan senada juga disampaikan Ibnu Khazin (1/110):
“Hal itu karena
puasa merupakan ibadah berat. Namun sesuatu yang berat jika dilakukan oleh
banyak orang maka melaksanakannya menjadi mudah.”
Kenyataan ini menjadi bantahan bagi orang musyrik yang mengingkari kewajiban orang Islam untuk berpuasa dengan dalih hal itu merupakan suatu beban. Fakta ini juga menjadi motivasi tersendiri bagi orang yang baru memeluk Islam dan merasa berat menjalankan puasa. Semangat ini ditegaskan dalam ayat Al-Qur’an bahwa puasa dilakukan pada hari-hari tertentu saja, tidak sepanjang tahun (ayyaman ma’dudat).
Ketiga, membangkitkan semangat untuk menjalankan kewajiban sehingga tidak teledor dan meninggalkannya. Sebaliknya, ummat Islam menerima kewajiban ini dengan semangat dan motivasi penuh melebihi ummat-ummat sebelumnya.
Penjelasannya Ibnu Asyur tersebut diamini sebelumnya oleh Ibnu Irfah. Pakar tafsir ini menjelaskan:
“Penyerupaan ini
meski kembali kepada hukum, namun merupakan penghibur bagi kita. Informasi
tetang kewajiban puasa kepada ummat terdahulu meniscayakan ringannya ibadah
tersebut dan penerimaannya bagi ummat Islam. Apabila penyerupaan tersebut
kepada pahala, maka itu adalah pembandingan nikmat dengan nikmat. Artinya,
Allah memberikan kalian nikmat dengan puasa yang mendatangkan pahala di akhirat
sebagaimana telah diberikan kepada ummat terdahulu, namun pahala kalian (ummat
Islam) lebih besar.”
Akhirul kalam, Ramadhan dengan segala keagungan dan keutamaannya adalah anugerah agung dari Allah kepada manusia, terutama ummat Islam. Ibnu Rajab al-Hambali menjelaskan keutamaan puasa ini dengan bahasa yang indah:
“Puasa dapat
menghindarkan pelakunya dari perbuatan maksiat di dunia. Bila di dunia dia
memiliki penghalang untuk melakukan perbuatan maksiat, yaitu dengan berpuasa,
maka di akhirat nanti dia akan memiliki penghalang dari neraka. Namun
sebaliknya, bila di dunia dia tidak memiliki penghalang untuk melakukan
perbuatan maksiat, maka dia tidak akan memiliki penghalang dari neraka di
akhirat nanti.”