Menjaga Nama Baik
Di Arab sebelum kemunculan Islam, ada seorang raja bernama Nu'man bin Mundzir. Dia memiliki kebiasaan aneh. Dia menetapkan di dalam setahun, ada hari baik dan ada hari naas. Hari yang dia tetapkan sebagai hari baik, siapapun orang yang ditemuinya akan dihormati dan diperlakukan dengan baik. Sebaliknya, jika hari itu hari naas, orang yang menemuinya akan dibunuh tanpa alasan.
Pada suatu hari naas, Raja Nu'man melakukan perjalanan jauh untuk berburu. Saat beristirahat, Raja duduk di kemah dikelilingi para menteri dan pengawalnya. Datanglah seorang laki-laki dari pedalaman lewat di depan kemah. Dia masuk ke kemah itu kemudian menyampaikan salam hormat, "Im Shobahan." (Setelah Islam datang, kalimat ini diganti dengan Assalamu'alaikum)
Raja Nu'man segera memerintahkan para pengawalnya untuk menangkap laki-laki yang datang itu.
"Kamu akan aku bunuh sekarang." kata Raja.
"Mengapa?" tanya laki-laki itu keheranan.
"Ini hari naas, setiap orang yang menemuiku harus mati."
"Tolong jangan bunuh hamba. Hamba punya anak-anak kecil dan beberapa istri." pinta laki-laki itu.
"Tidak ada urusan dengan itu semua. Kamu harus mati. Titik." tegas Raja.
"Jika memang hamba harus dibunuh, beri hamba tenggat waktu. Biarkan hamba pulang dahulu mengatur segalanya untuk keluargaku. Kemudian hamba akan kembali ke tempat ini." kata lelaki itu dengan memelas.
"Siapa yang menjamin kamu akan kembali ke sini?" tanya Raja.
Laki-laki itu memandang semua yang hadir di kemah itu satu persatu. Tidak ada satupun yang dikenalnya. Dilihatnya ada seorang yang tampan dan gagah. Dia juga memiliki sikap yang baik. Dia adalah Abbas bin Ziyad. Laki-laki yang akan dibunuh itu berkata sambil menunjuk ke arah Abbas, "Orang ini yang akan menjaminku."
Raja memandang kepada Abbas sambil berkata kepadanya, "Apa kamu bersedia menjamin kedatangannya? Jika dia tidak kembali, kamu yang aku penggal lehernya."
"Hamba bersedia menjamin kedatangan orang ini. Kita tunggu sampai matahari terbenam." jawab Abbas
Raja memerintahkan untuk melepas laki-laki itu. Dia segera bergegas pergi sambil berkata, "Aku akan kembali sebelum matahari terbenam."
Pada saat matahari berwarna kekuningan dan hampir terbenam, Raja menoleh kepada Abbas, "Orang tadi tidak akan kembali."
"Tunggulah, hingga matahari benar-benar tenggelam." kata Abbas penuh rasa yakin.
Ketika matahari tenggelam dan malam mulai tiba, Raja berkata kepada Abbas, "Bersiaplah untuk mati."
"Janganlah tergesa-gesa, wahai Rajaku." jawab Abbas.
Abbas memandang di kejauhan, dilihatnya ada sesosok benda hitam. Dia berkata, "Barangkali dia lelaki itu."
Sesosok hitam itu semakin mendekat, ternyata dia adalah laki-laki yang akan dibunuh. Dia terengah-engah karena capek berlari. Sambil duduk dia berkata, "Apakah hamba memenuhi janji?"
Raja memandang kepadanya dengan penuh rasa takjub. Orang yang akan dibunuhnya bersedia menepati janji untuk kembali. Padahal jika dia tidak kembali, sudah ada orang yang menggantikannya untuk dibunuh. Lagi pula, tidak ada yang tahu dimana dia tinggal. Penasaran dengan peristiwa menakjubkan yang dialaminya hari itu. Raja menanyakan kepada laki-laki yang akan dibunuhnya, "Apa alasan yang membuatmu kembali mengantar nyawa?"
"Hamba takut akan dikatakan, menepati janji telah hilang dari orang Arab."
Raja menoleh kepada Abbas, kemudian bertanya juga dengan penuh rasa takjub, "Apa alasan kamu bersedia menjamin orang ini, padahal kamu sama sekali tidak mengenalnya?"
"Hamba takut akan dikatakan, saling percaya telah hilang dari orang Arab." jawab Abbas.
Raja lantas diam berpikir sejenak. Bingung, jadi membunuh atau tidak. Kemudian berkata, "Aku tidak ingin menjadi yang terjelek di antara kalian, nanti akan dikatakan, kasih sayang dan murah hati telah hilang dari orang Arab. Aku tidak jadi membunuhmu."
Lelaki dari pedalaman itu akhirnya dibebaskan. Semenjak peristiwa itu, raja menghapus adanya hari naas.
*****
Coba bayangkan. Jika semua ummat Islam atau warga negara Indonesia memiliki pandangan hidup yang sama dengan laki-laki yang akan dibunuh dalam cerita di atas. Setiap akan melakukan kejahatan dan keburukan dia akan mempertimbangkan nama baik agama dan bangsanya akan rusak oleh kelakuannya.
Di negara ini tentu tidak akan ada pencurian, pembunuhan, korupsi, saling ejek dan sikap-sikap tidak terpuji yang lain.
Diterjemahkan dari Syarh Yaqut An-Nafis.