Rasulullah SAW selalu memberi peluang kepada Yahudi Madinah untuk berdiskusi, dan mereka selalu lari dari hasil diskusi karena memang sengaja tidak mau menerima kebenaran, mereka bersikeras mengaku benar walaupun argumentasi mereka selalu dipatahkan. Setelah mereka sering lari seperti itu, maka Allah menyuruh Rasulullah SAW untuk menantang mereka dengan bukti kemantapan. Allah SWT berfirman:
"Katakanlah (wahai Muhammad), kalau memang menurut kalian kampung akhirat (surga) itu khusus buat kalian, bukan untuk orang lain, maka mengharaplah kematian kalau memang kalian adalah orang-orang yang benar. Dan mereka tidak akan pernah mengharapkannya selama sebab apa yang telah mereka lakukan, dan Allah Maha Mengetahui akan orang-orang yang dzholim. Dan sungguh kalian akan menemukan mereka sebagai orang yang paling menginginkan kehidupan, bahkan lebih dari orang-orang musyrik, masing-masing mereka ingin dipanjangkan umurnya sehingga seribu tahun, padahal itu tidak akan menyelamatkannya dari siksa. Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan." [QS. Al-Baqarah: 94-96]
Ada dua penafsiran mengenai mengharap kematian dalam ayat itu. Pertama, orang Yahudi ditantang dengan berdoa meminta mati, karena kalau memang mereka merasa beriman dengan benar maka mereka tidak akan takut mati, karena kematian adalah pintu masuk surga bagi orang yang beriman. Kedua, yang dimaksud mengharap kematian adalah mubahalah, yaitu berdoa memohon kematian bagi pihak yang bersalah menurut Tuhan. Mubahalah dikenal sebagai hal serius termasuk oleh orang Yahudi. Allah menyuruh Rasulullah SAW menantang orang Yahudi untuk bermubahalah. Kalau memang orang Yahudi itu merasa beriman dengan benar maka mereka tidak akan takut untuk bermubahalah.
TIDAK BERANI TANTANGAN
Namun ternyata orang Yahudi tidak berani menerima tantangan itu, maka Allah mempermalukan mereka dengan menyingkap isi hati mereka, bahwa mereka justru mau panjang umur karena mereka yakin bahwa mereka akan menemukan ketidak nyamanan setelah kematian.
Hal ini juga pernah terjadi pada kaum Nasrani Najran. Bahkan Rasulullah SAW dan mereka sempat menentukan waktu dan tempat untuk bermubahalah. Pada waktu dan tempat yang ditentukan itu Rasulullah SAW datang membawa keluarga beliau, Siti Fatimah, Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain, namun tidak satupun dari Nasrani Najran yang datang ke tempat mubahalah itu.
Mereka merasa bersalah maka mereka takut menerima tantangan. Mereka percaya kepada Tuhan dan yakin bahwa Rasulullah SAW benar dalam hal mengaku utusan Tuhan, atau setidaknya mereka merasa bahwa diri mereka sudah pasti salah dan Rasulullah SAW memiliki kemungkinan benar.
Sepanjang sejarah dakwah Rasulullah SAW, mubahalah tidak pernah terjadi karena pihak yang menolak ajaran beliau tidak berani mereka tantangan mubahalah. Itu artinya Rasulullah SAW telah berhasil membuat mereka mengerti, mereka menolak bukan karena tidak mengerti, melainkan hanya karena sombong atau karena ada kepentingan.
Dalam keadaan seperti, tantangan mubahalah itu sebenarnya bukan tantang, melainkan gertakan, karena Rasulullah SAW yakin bahwa mereka menolak bukan karena tidak percaya atau tidak mengerti, Rasulullah tahu bahwa mereka percaya maka mereka tidak akan berani bermubahalah.
Maka dengan gertakan ini Rasulullah SAW dapat membuktikan kepada pihak ketiga yang menyaksikan diskusi beliau dengan mereka, bahwa mereka menolak bukan karena tidak percaya atau tidak mengerti, melainkan karena mereka angkuh dan sombong.