Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Raihlah ketinggian derajat keluhuran di sisi Allah. Bersikap bijaklah kepada orang yang tidak mengetahui (jahlun) atasmu dan berilah orang yang tidak mau memberi kepadamu." [HR. Imam Adly dari Ibnu Umar]
Manusia adalah makhluk yang istimewa dan dimuliakan. Secara jelas Allah SWT telah berfirman: "Dan sungguh telah Kami muliakan anak cucu Adam, dan Kami angkat mereka di darat dan di laut dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna." [QS. Al-Isra:70]
Karena manusia adalah makhluk yang dimuliakan, maka secara naluri, setiap orang ingin dihormati dan ingin hidup mulia serta bermartabat. Tidak mungkin orang ingin menjadi hina. Demikian juga, secara naluri pula setiap orang senang disanjung, dipuji atau dihargai. Sebaliknya manusia tidak suka kalau dihina, diejek atau direndahkan. Dia akan marah, tidak terima bahkan sampai mengadukan ke pengadilan. Bukankah orang sering mengadukan orang lain dengan alasan pencemaran nama baik, atau pembunuhan karakter?
Itu pula yang disampaikan Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya: "Hiduplah dengan mulia atau mati dalam keadaan syahid." Itulah naluri setiap manusia, berbeda dengan binatang yang tidak memperdulikan harga diri atau martabat. Bagi binatang yang penting bisa makan dan minum. Tidak peduli bagaimana cara mendapatkannya dan sebagainya.
Kemuliaan Yang Sejati
Setiap orang ingin meraih kemuliaan, tapi tidak semua orang bisa meraihnya. Dan masih banyak manusia yang mengetahui apa yang dimaksud kemuliaan sejati. Bagaimana bisa meraih kemuliaan sejati kalau belum memahami apa itu kemuliaan sejati.
Kemuliaan sejati adalah ketika seseorang mampu membawa dirinya maupun keluarganya pada kemuliaan di hadapan Allah SWT dan di tengah kehidupan masyarakatnya. Yaitu dengan cara memelihara diri dari cacat moral, menjalankan perintah dan ajaran Allah SWT serta tidak punya beban dosa kepada Allah SWT dan juga tidak dikejar-kejar oleh rasa bersalah kepada sesama.
Orang yang seperti ini, akan hidup terhormat dan berwibawa di tengah-tengah masyarakatnya. Dia juga akan hidup tenang tentram dan sejahtera. Masyarakat sekitarnya menerima dan menghargai keberadaannya. Hatinya juga merasakan (sakinah) ketentraman yang mendalam karena tidak punya banyak dosa kepada Allah SWT. Itulah sebenarnya kemuliaan dan martabat yang sejati.
Selanjutnya, orang yang tidak memiliki cacat moral, lalu diberi nilai lebih oleh Allah berupa kekayaan, keilmuan dan kedudukan tentu akan bertambah nilainya di masyarakat. Sebab, dia bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Yang diberi kekayaan, memberikan manfaat dengan hartanya, yang diberi ilmu memberikan manfaat dengan ilmunya, yang diberi kedudukan mengabdikan diri untuk ummat. Orang yang seperti ini, akan selalu mulia di sisi Allah SWT sekaligus terhormat dalam pandangan sesamanya.
Orang yang tidak memiliki cacat moral dan sekaligus menebar manfaat bagi ummat, dia tetap akan dihormati dan berwibawa di masyarakat, meskipun dia tidak kaya atau tidak menjabat. Berbeda dengan kemuliaannya semu, yaitu kemuliaan yang hanya karena jabatan, atau kekayaan, tidak disertai ketaqwaan. Nanti kalau sudah tidak menjabat, atau tidak kaya lagi, dia tidak akan dihormati dan disegani. Berapa banyak para pejabat yang setelah turun dari jabatannya justru dikejar-kejar polisi dan akhirnya masuk bui. Kita sudah diberi contoh oleh Allah SWT dengan raja Fir'aun. Fir'aun adalah raja yang sangat berkuasa bahkan sampai mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan. Namun, ternyata dia mati dalam keadaan hina dan dihinakan.
Sebaliknya, orang yang mendapat kemuliaan sejati, setelah matipun masih dimuliakan. Coba saja kita lihat berapa banyak orang yang terpelihara kepribadiannya dan banyak manfaat dan jasa merekapun senantiasa dikenang oleh masyarakatnya. Sebut saja para walisongo, Mbah Kyai Hasyim Asy'ari, Presiden Soekarno dan lain sebagainya. Memahami dan menyadari hal-hal di atas, Rasulullah SAW bersabda sebagaimana hadits di atas, raihlah derajat dan martabat tinggi di sisi Allah dengan melakukan hal-hal berikut.
Pertama, Memaafkan Orang yang Tidak Tahu
Kalau ada orang yang bodoh tidak memahami ajaran agama memperlakukan kita dengan sesuatu yang tidak baik, mengolok-olok, baik melalui perbuatan atau ucapan yang menjadi ekspresi kebodohannya maka Rasulullah SAW menganjurkan kepada kita agar tidak menghiraukannya, tidak membalasnya. Nabi Muhammad SAW bahkan menyuruh memaafkannya. Dalam istilah Jawa, ngeladeni wong gendeng ya melo gendeng (melayani orang gila sama halnya ikut menjadi gila). Melayani perbuatan buruk orang bodoh maka ikut bodoh. Kalau ada orang yang melakukan keburukan karena dia bodoh lalu kita mengikutinya sama halnya kita ikut menjadi bodoh.
Sebagai panutan ummat, para ulama atau pemimpin yang diberi amanat agama oleh Allah SWT harus berusaha menjaganya. Sebab, kalau martabat yang memperjuangkan agama jatuh maka agama juga akan ikut terjatuh.
Kedua, Memberi Kepada Orang yang Tidak Memberi
Untuk meraih kemuliaan dan martabat tinggi selanjutnya adalah hendaknya kita memiliki sifat dermawan (loman), kepada siapapun memberi, kepada kawan maupun lawan, bahkan kepada orang yang bakhil dan tidak pernah sepersenpun memberi kepada kita. Di sanalah anda memperoleh kemenangan yang sejati.
Hidup tidak hanya sekarang, kita juga mempunyai masa depan, masa tua bahkan kehidupan setelah mati. Hidup ini juga bukan hanya kita rasakan, tapi juga dirasakan oleh anak cucu kita. Oleh karena itu, perbanyaklah menanam kebajikan, bersedekah, menolong orang lain. Sebab, kebaikan kita, pertolongan kita sejatinya merupakan tabungan kita, baik untuk kita maupun untuk anak cucu kita. Selama kita ikhlas melakukannya maka Allah SWT yang tidak pernah tidur akan membalasnya. Allah SWT akan menggerakkan hati orang yang pernah kita bantu atau orang lain untuk membalas kebaikan kita. Jadi, hakikatnya Allah SWT yang membalas, namun melalui tangan-tangan hamba-hamba-Nya.
Kalau kita sering berbuat baik kepada sesama, maka anak cucu kita juga akan merasakan kebaikannya. Sebab, masyarakat akan membalas kebaikan kita, dan tentu saja kepada anak cucu kita nantinya. Sebaliknya, kalau selama ini kita sering menyakiti orang lain sama halnya dengan mewarisi kesulitan bagi anak cucu kita. Anak cucu kita akan kesulitan mencari kerja, mencari bantuan bahkan dalam mencari jodoh pun agak sulit. Masyarakat belum melupakan kejahatan atau keburukan orang tuanya. Lain halnya kalau orang tuanya suka memberi dan bermanfaat bagi orang lain, maka anak cucunya pun juga akan dengan mudah menjalani kehidupan mereka. Mudah mencari pekerjaan, mudah mencari jodoh. Alhasil banyak orang lain yang peduli.
Ingat, kisah Nabi Khidir AS ketika memperbaiki rumah dua anak yatim yang sudah mau roboh. Hatinya bergerak untuk membantu anak yatim pemilik rumah tersebut. Ternyata kedua orang tuanya adalah orang yang baik-baik (orang sholeh). Maka jangan sampai lelah untuk memberi atau menolong serta berbuat baik, bahkan kepada orang yang berbuat buruk dan bakhil sekali pun.