Shalat merupakan kewajiban kita semua sebagai orang Islam. Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui dan faham bersama terkait perintah shalat. Pertama, dari sisi sejarah perintah shalat turun ketika Rasulullah SAW sedang dilanda duka ('amul huzni/tahun berduka). Sebab kisaran tahun 619 M, Rasulullah SAW kehilangan atas wafat istri tercinta, Siti Khadijah. Dia bukanlah semata-mata sebagai istri, tapi juga sahabat dekat, ibu seluruh anak-anaknya, dan bahkan penasihatnya. Di awal turunnya wahyu, ketika Rasulullah SAW masih gemetar, panas dingin setiap kali baru menerima wahyu, Siti Khadijah yang meyakinkan dan menenangkannya.
Sepeninggal Siti Khadijah,Abu Thalib pun meninggal, maka praktis Nabi Muhammad SAW secara formal tidak mempunyai pelindung. Kemudian Nabi Muhammad SAW mencari pertolongan ke Tsaqif, penduduk Thoif. Justru di sinilah terjadi peristiwa Nabi Muhammad SAW diteriaki, dicaci-maki, bahkan dilempari batu. Atas peristiwa itulah Nabi Muhammad SAW kemudian bermunajat kepada Allah SWT. Nah, ketika masa-masa munajat inilah terjadi peristiwa Isra' Mi'raj. Jadi, hakikatnya perintah shalat adalah hadiah istimewa untuk Nabi Muhammad SAW dan tentu untuk kita para pengikutnya. Perintah shalat ini merupakan jawaban dari Allah SWT atas munajat Nabi Muhammad SAW, sekaligus untuk menghiburnya yang sedang berduka. Dari sinilah kita bisa memahami surat Al-Baqarah ayat 45. Bahwasanya shalat merupakan suatu perangkat komunikasi kita dengan Allah SWT, shalat menjadi tempat kita mengadu dan mengembalikan segala urusan kita hanya kepada Allah SWT.
Kedua, perintah shalat ini tidak seperti terhadap kewajiban-kewajiban yang lain seperti puasa, zakat, haji dan yang lainnya, yang disampaikan melalui malaikat Jibril. Perintah shalat langsung disampaikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW tanpa perantara. Ini menunjukkan kalau shalat merupakan ibadah yang super special, sangat khusus.
Ketiga, secara syari'at perintah shalat juga sangat khusus. Khusus ini kemudian dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa, "Shalat adalah tiang agama. Siapa yang mendirikannya, maka ia menegakkan agama Islam. Siapa yang meninggalkannya, maka ia menghancurkan agama."
Kekhususan ini juga bisa kita lihat dari redaksi perihal perintah shalat. Kata "shalat" dengan beberapa bentuk derivasi (pecahan) nya tersebut di dalam Al-Qur'an kurang lebih sebanyak 92 kali. Dari 92 kata itu, hampir lima puluh persennya, yaitu sekitar 47 kata didahului dengan bentuk kata "qoma" dengan berbagai derivasinya. Utamanya untuk struktur kalimat yang sifat umumnya berbentuk perintah, banyak di antaranya menggunakan fi'il amar. Salah satunya pada surat Al-Baqarah ayat 43, "wa aqiimus shalah". Hampir tidak ada penggunaan bentuk kata "fa'ala" dan derivasinya yang artinya mengerjakan, atau bentuk "amila" dan derivasinya yang artinya melaksanakan. Hampir seluruh bentuk kata yang digunakan adalah "qoma" dan derivasinya yang artinya mendirikan atau menegakkan. Secara bahasa pun tentu kita bisa membedakan antara makna mengerjakan dan melaksanakan dengan makna mendirikan dan menegakkan.
Mendirikan shalat itu meliput fisik dan ruh, secara fisik kita tuma'ninah dari awal takbir sampai akhir salam. Tuma'ninah itu tenang dan hening, tuma'ninah berarti secara fisik shalat kita sempurna, takbir dengan benar, ruku' dengan benar, i'tidal dengan benar, sujud dengan benar dan duduk dengan benar termasuk bacaan-bacaan di dalamnya, tartil dan memahami serta meresapi apa yang dibacanya dan didirikan pada waktu tertentu seperti ajaran Rasulullah SAW. Sedangkan secara ruh kita khusyu' yakni fokus hanya kepada Allah SWT, hanya untuk Allah SWT, hanya memikirkan Allah SWT, hanya menghadap Allah SWT, hanya bersama Allah SWT, artinya kita juga ikhlas bukan karena pamrih apa-apa, tetapi semata-mata hanya ingin bersatu dengan Allah SWT, dan hanya ingin berkomunikasi dengan Allah SWT. Nah, indikasinya apa bagi seseorang yang sudah mendirikan shalat, atau baru melaksanakannya?
Mendirikan "qum" itu berarti bersifat jam'ah, belum berarti qiyamus sholah jika dalam kehidupan keluarga dan masyarakat masih banyak yang tidak shalat. Jadi, qiyamus sholah targetnya adalah terwujudnya masyarakat banyak yang shalat. Secara sederhana, ada diperilaku dan ada atsarnya (bekas). Bekas yang dimaksud di sini bukanlah bekas yang berwujud fisik seperti jidat hitam dan sebagainya. Bekas yang dimaksud di sini adalah bekas berupa perilaku. Apakah kita menjadi santun dan damai, ataukah menjadi angkuh dan kasar? Lebih tepatnya seperti Rasulullah SAW orang yang bersosok santun, ramah, murah senyum, siapa yang ada di sisinya merasa sejuk dan damai, tentram dan bahagia, aman, nyaman, penebar bahagia dari rahmat.
Indikasi lain terhadap atsar (bekas) dari mendirikan shalat adalah menjauhi perbuatan keji dan mungkar seperti dalam surat Al-Ankabut ayat 45. Maka mafhum mukhalafahnya di antara tanda seseorang mendirikan shalat adalah menebar kebaikan dan kasih sayang seperti kasih sayangnya.