Semua manusia mempunyai hati nurani, yang kecenderungannya menuju sesuatu yang positif, jujur, dan baik. Tetapi, karena pengaruh nafsu, kecenderungan kepada kebaikan dan hal-hal positif itu tertutupi, sehingga yang muncul adalah sesuatu yang negatif kebohongan dan ketidakbaikan.
Di waktu lampau ada sebuah survei yang menyimpulkan bahwa Indonesia yang nota bene bermateri pas-pasan menempati urutan pertama bangsa yang bahagia. Singapura adalah bangsa yang pelit di dunia, padahal kekayaan materi mereka jauh di atas orang Indonesia. Akhir-akhir ini ada sebuah survei yang menyimpulkan bahwa antara materi secara paradoksal berhadapan dengan nurani, ini cukup mencengangkan. Sehingga, orang yang orientasi hidupnya materi, segala sesuatu diukur dengan dunia, maka mereka cenderung tidak bahagia. Sebaliknya, orang yang tidak berorientasi pada dunia, di atas 50% mereka merasa bahagia. Bisa kita saksikan dalam kehidupan nyata kita sehari-hari, mayoritas orang yang sering memberi kepada pengemis, rata-rata mereka-mereka yang penghasilannya cukup tidak kaya. Rasulullah SAW sendiri tidak kaya, tetapi kalau ada orang yang meminta-minta, pasti Beliau bisa memberi.
Allah berfirman dalam surah asy-Syuura ayat 27 yang maknanya: "Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat."
Kalau kita tarik dalam tataran empiris, dalam kehidupan nyata bisa kita lihat, para koruptor itu pasti orang yang kaya harta dan pandai. Sulit mencari seorang koruptor itu orang miskin dan bodoh, karena dia bisa korupsi karena mendapat posisi tertentu yang dengan kepandaiannya digunakan untuk merekayasa agar dia bisa mendapat materi lebih walaupun itu bukan haknya. Sehingga, sungguh mencengangkan bahwa perusak dunia ini justru orang-orang yang punya materi lebih dan pandai.
Fenomena itu semua merupakan bahan renungan pada diri kita, apa dan siapakah yang salah? Pasti bukan hartanya, karena harta adalah barang yang tidak bergerak, tetapi yang salah adalah orangnya yang mendapat amanat harta tersebut. Makanya tidak ada satupun di Al-Qur'an atau dalam hadits yang secara implisit perintah untuk menjadi orang kaya harta tidak ada, tetapi hanya ada secara eksplisit seperti perintah "keluarkan zakat" untuk mengeluarkan zakat tentu dia harus punya harta. Ith'aamuth tha'aam (berilah makan orang miskin), untuk memberi makan orang tentu dia juga harus bisa makan dahulu. Dan banyak lagi ungkapan-ungkapan filosofis dalam Al-Qur'an tentang bagaimana menyikapi harta. Seperti dalam surah Al-Isra' ayat 19, yang maknanya: "Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik."
Terhadap harta, ada hak orang lain. Maka, sikap terhadap harta harus proporsional, kalau ingin bershadaqah janganlah berlebihan, sehingga tidak memperhatikan tanggungan dan kebutuhan pokok diri dan keluarga. Tetapi, jangan pula egois untuk mementingkan diri sendiri, hingga orang lain terlupakan.
Oleh karena itu, dalam hidup ini jangan sampai terlalu mencintai harta (Jawa: kedonyan), sehingga apa pun diukur dengan harta. Karena orang yang demikian akan mendapat celaka. [QS. An-Naazi'at: 37-39] yang maknanya: "Adapun orang yang melampaui batas. Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. Maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).
Makna literal jahiim adalah neraka Jahannam, tetapi makna kontekstualnya adalah kesengsaraan. Sehingga, jika penggunaan dan cara memperoleh harta benda tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka kesengsaraan akan dia peroleh tidak hanya berlaku di akhirat saja, di dunia pun dia akan mendapatkannya.
Wallahu a'lam bish shawab