Wednesday, June 14, 2023

KRISIS CINTA KRISIS KEBAHAGIAAN

Ketahuilah, kebahagiaan sebagai tujuan primadona setiap manusia, kendati memiliki warna kecenderungan yang berbeda-beda. Terkait dengan itu, perlu diketahui bahwa kebahagiaan berbeda dengan kesenangan. Kesenangan didapati dengan menuruti hawa nafsu, sementara kebahagiaan diperoleh dengan mengendalikan hawa nafsu. Kalau manusia kian meliarkan dan membebaskan hawa nafsu, niscaya terhambat menggapai kebahagiaan, yang didapati hanya sampah kesenangan semata.

Karena itu, kita diperintahkan bertaqwa agar bisa merasakan bahagia. Tapi ketaqwaan tak bisa terbentuk kecuali diawali dengan pengendalian hawa nafsu. Kendalikan nafsu agar bisa melahirkan ketaqwaan, dan ketaqwaan akan mengantarkan pada kebahagiaan. Bukankah kita sudah sholat, puasa, zakat, haji tetapi mengapa kita tidak bahagia? Fenomena itu menunjukkan ada suatu yang salah pada pemahaman keberagamaan kita.


Ingatlah, orang yang tidak menemukan kedamaian dalam hatinya, tidak akan menemukan kebahagiaan di manapun di muka bumi ini, bahkan di istana sekalipun. Lalu apa yang membuat manusia damai dan bahagia?


Imam Ghozali mendefinisikan secara sederhana, kebahagiaan adalah terpenuhinya harapan. Apa saja harapan manusia? Harapan manusia berupa kebutuhan fisik, kebutuhan psikologis dengan terpenuhi jodoh dan pasangan, intelektual berupa ilmu dan wisdom, dan agama. Memang, manusia itu satu namun memiliki empat kedirian, berupa fisik, psikologis, intelektual dan spiritual. Bukankah harapan manusia akan kebutuhan fisik, psiki, intelektual, dan spiritual telah dipenuhi Allah, namun mengapa mereka tidak kunjung merengkuh kebahagiaan? Tak jarang mereka melukisi kanvas kehidupannya dengan keluhan, bersikap resisten terhadap realitas yang berkunjung padanya.


Ketahuilah, mandulnya pohon kebahagiaan, kendati telah dianugerahi beragam kebutuhan tersebut, karena defisitnya volume cinta. Miskinnya cinta mengantarkan pada miskinnya kebahagiaan. Ketika orang telah dianugerahi cinta, berarti dianugerahi kebahagiaan. Gamblangnya, cinta menjadi kata kunci untuk mengakses kebahagiaan.


Walau demikian, cinta di sini bukan sembarang cinta. Inilah cinta suci. Kita tidak bisa mengakses kebahagiaan dalam beragama, pengetahuan, dan rezeki, lantaran ada energi yang hilang dan kurang. Itulah spirit cinta pada Allah. Cinta itu sebagai permata indah yang terliput di rahim iman. Ya, iman adalah cinta pada Allah.


Bagaimana dengan konsepsi yang berlaku di umum, bahwa iman adalah percaya? Ketahuilah, kalau iman hanya sekedar percaya, iblis amat percaya dan yakin pada Allah. Bagaimana tidak percaya, ia pernah bermuwajahah dengan Allah. Walau sudah pernah berdialog dengan Allah, mengapa iblis dikatakan tidak beriman bahkan kafir? Kalau begitu, apa karakteristik yang menandai dan membedakan orang beriman dan iblis yang sama-sama percaya. ".... Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah." [QS. Al: Baqarah: 165]


Pemahaman ini selama ini kurang dijadikan konsentrasi dan fokus kajian. Pada umumnya iman didefinisikan sebagai percaya. Harusnya iman tidak sebatas disebut percaya. Namun, iman sebagai cinta yang menjadi kekuatan dahsyat. Cinta inilah yang memandu manusia menuju kebahagiaan dunia akhirat. Dengan spirit cinta, kita bakal merasakan kebahagiaan setiap saat. Pecinta menggapai bahagia di dunia karena mengalami ma'rifat, dan di akhirat mengalami liqo' dengan Allah.


Renungilah, mengapa di akhirat ada orang bahagia dan menderita pada saat bertemu Allah SWT? Pecinta diwarnai kebahagiaan karena bertemu dengan yang dicintai. Namun, bagi orang yang membenci Allah, niscaya pertemuannya mencipratkan penderitaan baginya.


Di akhirat nanti, semua orang akan mengalami liqo' dengan Allah. Hanya saja ada orang yang memandang-Nya dengan wajah berseri-seri lantaran dijiwai spirit cinta. Dan ada yang terkurung dalam penderitaan karena disergap kebencian.


"Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram," [QS. Al-Qiyamah: 22-24]


Makanya, ketika hati telah dipenuhi spirit cinta pada Allah, kematian dipandang sebagai pintu gerbang bertemu dengan kekasih, sehingga dia menyambutnya dengan wajah berseri-seri. Cinta itulah yang membuatnya bahagia. Sementara orang yang membelakangi Allah dan menghadap dunia, justru saat meninggal dunia menjadi orang yang paling menderita. Ia menderita karena dipaksa berpisah dengan yang dicintainya. 


Dari situ bisa diringkas, bahwa Husnul Khotimah berbanding lurus dengan pelepasan keterikatan terhadap duniawi. Kalau orang melepaskan keterikatan pada materi duniawi, dia akan mendapati Husnul Khatimah di ujung perjalanannya di dunia. Namun, kalau orang masih melekat kuat hatinya dengan kehidupan duniawi, maka kematian akan membuatnya menderita, karena dipisah dengan apa yang dicintai.


WALLAHU A'LAM BISH SHAWAB

Contact

Talk to us

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis)

Alamat:

Jl. Tuntang, Pandean, Kec. Taman, Kota Madiun, Jawa Timur 63133

Jam Kerja:

Setiap Hari 24 Jam

Telpon:

-