Apa makna memohon pertolongan?
Memohon pertolongan adalah permohonan seorang hamba pada pertolongan dan bantuan dari pihak yang dapat menolong dan membelanya di saat mengalami kesulitan atau semacamnya.
Apakah boleh memohon pertolongan dari selain Allah?
Ya, boleh memohon pertolongan dari selain Allah SWT dengan pertimbangan bahwa makhluk yang dimintai pertolongan adalah sebab dan perantara, karena meskipun sesungguhnya pertolongan itu dari Allah SWT, namun tidak menafikan bahwa Allah SWT menetapkan sebab-sebab dan perantara-perantara yang disediakan-Nya bagi pertolongan tersebut.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW: "Allah senantiasa menolong hamba selama hamba menolong saudaranya." [HR. Imam Muslim]
Dan sabda Rasulullah SAW terkait hak-hak jalan: "... dan menolong orang yang membutuhkan pertolongan serta memberi petunjuk kepada orang yang tersesat." [HR. Imam Abu Daawud]
Allah menisbahkan dan mengaitkan pertolongan kepada hamba dan menganjurkan manusia agar saling tolong menolong. Dengan demikian, orang yang meminta pertolongan kepada selain Allah tak sedang meminta darinya agar menciptakan sesuatu. Yang ia maksudkan, berdoa kepada Allah bagi peminta pertolongan agar dibebaskan dari kesulitan misalnya.
Apa dalil atas disyariatkannya permohonan pertolongan (istighotsah)?
Dalil-dalilnya cukup banyak, di antaranya adalah yang disebutkan dalam hadits Nabi yang mulia:
“Sesungguhnya pada Hari Kiamat matahari mendekat hingga membuat keringat sampai setengah telinga. Ketika dalam keadaan seperti itu, mereka meminta pertolongan kepada Adam, kemudian kepada Musa, kemudian kepad Muhammad SAW…” [HR. Imam Bukhori] Seluruh manusia yang dihimpun saat itu sepakat terhadap dibolehkannya manusia meminta pertolongan kepada para nabi AS. Yaitu melalui ilham dari Allah SWT kepada mereka. Hadits ini mengandung dalil yang sangat jelas terkait penetapan permohonan pertolongan kepada selain Allah.
Dalil lainnya adalah sabda Rasulullah SAW: “Jika salah satu di antara kalian tersesat, maksudnya tersesat jalan, atau menghendaki pertolongan sementara ia berada di daerah yang tak ada orang yang membuatnya merasa aman, hendaknya ia berkata: ‘aghiitsuuniy – Hai hamba-hamba Allah, tolonglah aku’,”
Pada riwayat lain, “aghiitsuuniy –Bantulah aku.” Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang tidak kalian lihat.” [HR. Imam Thobaroniy dari Sayyidina Utbah bin Ghozwan RA]
Hadits ini dengan tegas membolehkan adanya permohonan pertolongan dan menyeru makhluk-makhluk yang tidak ada di tempat baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Allah lebih mengetahui.
Dalam karyanya Khulashoh al-Kalam, Sayyid Imam Ahmad bin Zaini Dahlan Rahimahullah mengatakan, “Kesimpulannya adalah bahwa Mahdzab Ahlussunnah wal Jama’ah membolehkan tawasul dan permohonan pertolongan kepada orang-orang yang masih hidup dan yang sudah mati. Karena kita meyakini tidak ada pengaruh, manfaat, dan bahaya kecuali dalam wewenangan mutlak Allah semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Para nabi tidak punya pengaruh sesuatu pun. Mereka hanya sebagai perantara tabaruk dan permohonan pertolongan lantaran kedudukan mereka. Karena mereka adalah kekasih-kekasih Allah SWT.
Kalangan yang membedakan antara yang hidup dan yang mati adalah orang-orang yang meyakini adanya pengaruh pada orang hidup bukan pada orang mati.
Sedangkan kami mengatakan: “Allah Pencipta segala sesuatu.” [QS. Az-Zumar: 62]
Dalam ayat lain Allah berfirman: “Dan Allah-lah yang menciptakan kalian dan amal perbuatan kalian.” [QS. Ash-Shoffat: 96]
Apa makna hadits, “Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah, jika kamu memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah”? [HR. Imam Tirmidzi]
Hadits ini menunjukkan bahwa pemenuhan berbagai keperluan dan pertolongan pada hakikatnya dari Allah. Namun Allah lumrah menolong hamba-Nya baik dengan perantara maupun tanpa perantara. Maka diperbolehkan meminta dan memohon pertolongan kepada selain Allah, dalam arti memohon pertolongan dari-Nya dengan jalan mencari sebab dari (datangnya) pertolongan Allah SWT. (Permintaan tolong ini) disertai keyakinan bahwa pada hakikatnya yang memberi adalah Allah SWT, bukan yang lain.
Jadi hadits ini tidak dapat dijadikan dasar adanya larangan memohon pertolongan kepada selain Allah. Jika kita memaknai hadits ini dengan pemaknaan bahwa permohonan pertolongan tidak diperkenankan kecuali kepada Allah, maka kita menentang Al-Qur’an dan Sunnah. Sebab Allah menisbahkan pertolongan pada selain-Nya. Dia pun menganjurkan manusia agar saling tolong menolong di antara mereka.
Allah SWT berfirman: “Dan hendaknya kalian saling tolong menolong dalam kebajikan dan ketaqwaan, dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.” [QS. Al-Maidah: 2]
Juga hadits-hadits lain yang telah disebutkan sebelum ini.
Apa hukum menyeru/ memanggil kepada selain Allah?
Seruan/panggilan kepada selain Allah dibolehkan, baik yang diseur/dipanggil itu hidup maupun mati, agar yang diseur mengajukan diri kepada Allah pada urusan penyeru. Ini sesuai dengan yang disepakati ulama dan para imam terkemuka.
Tak seorang pun (dari mereka) yang menyatakan hukumnya makruh, terlebih lagi (sampai menyatakan) syirik dan haram.
Apakah seruan/panggilan kepada wali/orang-orang sholeh itu ibadah?
Ulama Rahimahullah mengatakan bahwa seruan/panggilan bukan sebagai ibadah. Kecuali, jika yang menyeru/memanggil meyakini bahwa yang diseru/dipanggil memiliki kewenangan mutlak terhadap manfaat dan bahaya, atau kehendaknya pasti terlaksana tanpa kekuasaan Allah SWT. Maka ini syirik. Sebab keyakinannya itu merupakan salah satu dari keistimewaan-keistimewaan khusus yang ada pada sifat ketuhanan. Adapun jika ia tidak meyakini yang sedemikian itu, maka itu sama sekali bukan merupakan ibadah.
Seandainya manusia menyeru kepada pemimpinnya agar menolongnya dalam menghadapi pihak yang bertindak sewenang-wenang, atau agar membantunya dalam menghadapi kesulitan seraya meyakini bahwa yang diseru tak punya kewenangan mutlak untuk mendatangkan manfaat atau menghindarkan bahaya, tetapi Allah menetapkannya sebagai sebab yang berlaku dalam kebiasaan yang dapat memenuhi kehendaknya melalui tindakannya, maka ini bukan merupakan ibadah kepadanya.
Seandainya setiap seruan adalah ibadah, niscaya seruan kepada orang yang hidup dan yang mati pun dilarang lantaran keduanya sama-sama tidak memiliki pengaruh tanpa ketetapan dari Allah, dan ini bukan merupakan pendapat yang dianut oleh seorang pun di antara kaum muslimin.
Imam Ath-Thobaroni menukil dalam karyanya At-Tarikh bahwa para sahabat RA memiliki semboyan pada saat memerangi kaum murtad dalam Perang Yamamah:
يا محمد
"Wahai Muchammad!",
Ini terjadi setelah Rasulullah SAW wafat pada masa pemerintahan Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA.
Dinyatakan pada riwayat, bahwa Sayyidina Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar RA mengatakan, "Jika kaki salah seorang di antara kalian mengalami kesemutan (mati rasa), hendaknya ia menyeru:
.يا محمد
"Wahai Muchammad!"
Ini disebutkan Ibnu Taimiyah dalam Al-Kalim ath-Thoyyib.
Diriwayatkan, ketika Abdullah bin Umar RA mengalami kesemutan pada kakinya, dikatakan kepadanya, "Ingatlah orang yang paling kamu cintai, maka deritamu akan hilang."
Ia pun berteriak:
يا محهداه
"Wahai Muchammad!".
Ini disebutkan oleh Imam Al-Qodhy Iyadh dalam Asy-Syifa'.
WALLAHU A'LAM BISH SHAWAB