Datang seorang pemuda menemui Imam Abu Hanifah untuk meminta solusi dari masalah yang dihadapinya. Dia menceritakan bahwa dirinya mencintai seorang gadis dan gadis itu juga mencintainya. Dia sudah menemui orang tua si gadis dan bilang ingin menikahi. Namun, orang tuanya meminta mahar yang sangat besar. Jauh dari kemampuan dirinya.
Setelah mendengarkan cerita pemuda itu, Abu Hanifah bertanya, “Bagaimana kondisi gadis itu dan keluarganya?”
“Gadis itu berasal dari Baghdad. Keluarganya sangat doyan berpesta dan hura-hura.” Jawab pemuda itu.
Abu Hanifah berpikir sejenak, lantas berkata, “Pergilah, temui orang tua gadis itu! Sepakati mahar yang mereka minta. Setelah melangsungkan akad nikah, jangan sentuh dulu istrimu tapi kembalilah menemuiku.”
Berangkatlah pemuda itu menuju rumah gadis pujaannya. Setelah bertemu dengan keluarga si gadis, dia menyanggupi mahar tinggi yang ditentukan oleh orang tua si gadis. Namun hanya sebagian kecil saja yang dibayar tunai, sisanya dia menghutangnya. Uang yang diserahkan hanya sejumlah yang dimilikinya.
Setelah akad nikah dilangsungkan, pemuda itu menuruti petunjuk Imam Abu Hanifah. Dia segera menemui beliau, dan mengabarkan bahwa dia telah melakukan akad nikah dan belum menyentuh istrinya.
Pemuda itu berkata dengan ketakutan, “Sekarang, hutang mahar yang menjadi tanggunganku banyak sekali. Apa petunjuk anda selanjutnya?”
Abu Hanifah dengan tenang menjawab, “Masalah ini sepele. Pergilah sekarang ke keluarga istrimu. Sampaikan kepada mereka, kamu akan pindah rumah ke tempat yang jauh bersama istrimu. Pastikan, tempat yang kamu tuju itu kota yang istrimu dan keluarganya tidak rela jika kamu membawa serta istrimu ke sana.”
Pemuda itu lantas pergi dan menjalankan petunjuk Abu Hanifah. Dia merencanakan diri untuk pergi ke suatu tempat yang jauh.
Ketika hal itu disampaikan kepada keluarga istrinya, mereka kaget bukan main. Mereka tidak rela melepas anak gadisnya dibawa ke tempat sejauh itu. Mereka menolak dengan keras, tetapi si pemuda tetap bersikukuh pada keinginannya. Pemuda itu berkata, “Dia sekarang adalah istriku. Semua urusannya di tanganku sekarang. Kalian sudah tidak punya wewenang.”
Keluarga istrinya menyinggung mahar yang masih dihutang. Dan mereka menagih agar dilunasi sekarang juga. Pemuda itu menjawab, “Aku tahu itu. Tetapi aku belum menyentuhnya. Jika kalian sebagai wali menceraikan aku dan istriku, aku tidak punya kewajiban membayar mahar sepeser pun.”
Keluarga istrinya dibuat bingung tidak berkutu. Jika mereka memisahkan keduanya, mereka menanggung malu dan tidak menerima mahar sedikitpun. Jika membiarkan pemuda itu membawa anak gadisnya, mereka tidak rela.
Akhirnya setelah keluarga itu berunding memutuskan, memohon agar pemuda itu mengurungkan niatnya untuk pindah rumah. Dengan tawaran, biaya mahar bisa diturunkan sekehendak hati pemuda itu.
Pemuda itu tidak memberi jawaban, dia hanya bilang akan mempertimbangkannya. Namun dalam hatinya sangat girang sekali. Dia segera menemui Abu Hanifah mengabarkan perkembangan bagus dari masalahnya.
Pemuda itu berkata, “Ijinkan saya untuk menambahkan syarat-syarat yang harus dipenuhi keluarga istriku supaya aku tidak pergi. Saya bisa minta rumah, perhiasan, tanah dan lain-lain.”
“Jangan macam-macam kamu! Jangan rakus. Jika kamu melakukannya aku bisa memberi petunjuk kepada keluarga itu yang dapat membantumu tidak berkutik.” bentak Abu Hanifah.
“Apa itu?” tanya pemuda itu.
“Aku akan mengabarkan kepada keluarga istrimu supaya salah satu dari mereka mengklaim menghutangi istrimu. Dan dia tidak mengizini istrimu untuk pergi.” Kata beliau. Di dalam fikih ditetapkan, seorang yang masih punya hutang tidak boleh bepergian jauh tanpa seizing orang yang menghutangi.
Pemuda itu sangat ketakutan dan memohon agar jangan memberitahu hal itu kepada keluarga istrinya. Dia menemui keluarga istrinya dan menyepakati diturunkannya nilai mahar.
[Diterjemah dari Syarh Yaqut Nafis karya Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiri hlm 594]