Raden Said sangat geram pada kezaliman penguasa pada zamannya. Dia pun memutuskan untuk menjadi perampok bernama Brandal Lokajaya. Seperti Robin Hood di Inggris, dia menjarah lumbung-lumbung pemerintah, lantas membagikan isinya kepada rakyat yang tercekik pajak tinggi.
Suatu hari Lokajaya melihat kakek tua yang memakai tongkat berkilau. Karena tergiur, dia rebut tongkat itu hingga si pria sepuh tersebut terjengkang dan menitikkan air mata. Lokajaya kaget bukan kepalang. Tongkat di tangannya bukan emas, melainkan kuningan. Merasa menyesal, dia kembalikan tongkat itu sembari bertanya mengapa si kakek menangisi tongkat kuningan tersebut.
Sunan Bonang, kakek itu, berkata bahwa dirinya menangis bukan lantaran tongkatnya direbut. Sunan Bonang menitikkan air mata karena tak sengaja mencabut rumput saat terjatuh. 'Nyawa' rumput itu -katanya- sudah tercabut karena hal yang tidak berguna.
Dialog singkat itu menggetarkan Brandal Lokajaya. Akhirnya dia menghentikan aksi perampokannya dan menjadi murid kakek tua itu. Selanjutnya ia dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Dalam dialog selanjutnya, Sunan Bonang menyebut jalan radikal yang ditempuh Raden Said tersebut salah. Perampokan atas nama pembelaan orang miskin itu seperti mencuci baju kotor dengan air kencing. Bukannya menjadi bersih, malah menjadi pesing.
(Kejahatan dan kemaksiatan meski dibungkus dengan motivasi dan niat baik tetaplah suatu keburukan).